harmony

harmony

Jumat, 10 Desember 2010

rindu

Kutunggu datangmu. Membawa bau pagi yang tak kukenal, atau berkata tentang bising siang yang entah berpintu berapa, atau bercerita tentang senja yang lebam nan asing.
Namun angin telah membawa baumu yang sungguh kukenal. Rindu

pati, 10 desember 2010

sssttt, ia tidur

suatu siang, aku bertemu kupu kupu cantik terbang

dari saku bajumu 'ssstt, jangan kau ganggu, nanti dia

hilang', jadi aku hanya melihatnya menari nari, menyentuh

bunga bungaku, membelai pucuk pucuk daunku, memakan

sinar matahariku

ketika ia hinggap, aku tak paham, tidakkah ia memiliki

dunianya sendiri?

sayangku, ia hinggap di cabang kecil tanaman hias

akuarium kita

(besok, jika ada kupu kupu lain muncul dari saku bajumu,

bolehkah kuganggu ia agar tak berjalan dalam tidurnya?)



pati, 9 desember 2010

bukan kau kan?

kupikir bukan kau yang membuang buang waktu di depan layar monitor, dan nampak mencari sesuatu, tapi mirip denganmu, lalu mulai bercerita tentang sesosok burung yang terbang dan tak pernah kembali padahal sudah kau ajarkan padanya cara memanggil namamu, sejumput rumput yang selalu muncul di pojok halaman, padahal telah kau tanam pohon ceri yang tak bisa bersaing dengan rumput, lalu tentang bunga yang kau lupa namanya namun tumbuh subur di taman mimpimu,

ah sungguh, kupikir itu bukan kau



pati, 9 desember 2010

entahlah

sebuah payung lusuh, pudar, entah nila atau abu,

tergeletak di keranjang berdebu terkenang hari

kemarin dan mulai bertanya tanya 'apakah hujan

melupakan aku?' padahal seperti yang diingatnya

percakapan dirinya dan hujan begitu mesra

'besok aku dan nyonyaku hendak membeli angin di

kota, jangan temui aku dahulu, karena nyonya ada

janji temu dengan matahari'

sebuah payung lusuh termangu sendiri bertanya tanya

'apakah hujan mengira aku memilih matahari?'

dan mulai dibisikkannya doa yang hanya dimengerti

olehnya



pati, 8 desember 2010

ya maksudku : hujan

/1/

ada hujan yang padam. tak jelas hendak menyulut siapa

percik apinya berserak, dingin, tajam. perdu cocor bebekku

menunggu hujan, mengubur gairahnya untuk segera layu.



/2/

hujan milik siapa saja, seperti desember yang dingin.

lalu ada seseorang yang menggiring hujan ke pekarangannya,

meninggalkan amarah : tercurah membentur batu

apa yang hendak dipendam awan sekarang? hujan itu

tercuri, lama.



/3/

ya, ya, ya, hujan senantiasa misteri. lapisan tirai yang tak juga

tersingkap. tak usah kau undang, bahkan kesenyapan akan

menghadirkannya, melimpah. jika sehabis hujan tanahmu kering,

kupikir itu saatnya : undang dia



pati, 7 desember 2010

mistletoe : seperti itukah kau menulisnya?

desember. kubuka pintumu. kau bukan pintu terakhir dibelakang november,

kau hanya gerbang menuju januari sebuah masa dalam hitungan matahari

yang lain. jadi mari kita bercerita tentang cemara cemara kecil yang senantiasa

berserak di sudut sudut harimu. sudah besarkah ia? aku terpesona dengan

sajian kaleidoskop yang terserak di mejamu, sepertinya jamuan tetap di

penghujung senjamu ya? serupa mimpi tak selesai dan harapan yang

yang tertinggal bintang jatuh. karena itu, telah kugantung lonceng di

muka pintumu, sekedar memberi tahumu, hai aku datang desember.



pati, 6 desember 2010

abaikan saja

Aku tak lupa hanya urung menulis setiap kemungkinan yang bisa kusisipkan pada deretan kata yang setia menunggu kujejalkan pada puisi puisiku. Ini hanya siang tak biasa yang menyaru bagai petang, gelap, murung. Bukan alpa ketika kuhapus kemungkinan kau temukan kata dia pada setiap surat yang kutulis tanpa alamat yang urung kukirim, aku abai kemungkinan : telepati? Naluri sayang, hanya naluri.
(anginpun tak pernah meributkan tulisan apa yang tertera dikaki langit)

pati, 6 november 2010

sepertinya

kaukah yang memasuki pikiranku dan berselancar bersama asap knalpotmu di sana? takkan kutanya 'darimana hendak kemana' terlalu rumit padahal air mata selalu menjauhi ibunya, mata. hanya kabari aku kala kau pergi dari situ : itu masa tersunyi sepertinya

pati, 5 desember 2010

ada sajakku di dinding hujan

Hujan tak pernah datang sendirian, tak pernah diam diam, tak pernah mengingkari kodratnya yang basah, tak pernah mencoba menghapus jejaknya yang suram di jendela
Aku menatap, mendengar , mengira ngira derainya satu satu. Mana yang hendak singgah atau menetap dikubangan plafonku, atau berkunjung di pojok dapur atau sekedar mengajakku melantai di serambi?
Hujan tak pernah basa basi, tak pernah basi.
Ah, hujan membentuk dinding di luar, bagus juga kiranya jika kutulis di situ sajak sajakku

Pati, 5 desember 2010

sementara kita bertanya

sementara kita memandangi malam yang berkemah di atas atap
apa yang hendak kita lukis di jendela esok?
lupa mengembalikan warna bunga sedang nada gerimis tak juga kita pahami
: malam sembunyi sembunyi menjadi tua

pati, 4 desember 2010

sesaat di ruang tunggu

bangku lusuh menatap kosong
telivisi berbicara sendiri di sudut yang tak biasa
lalu detik terseret gerak jarum jam
ada perjanjian yang kubuat dengan lantai kuning kusam
maaf, cukup sekali ini aku menjadi latar
besok, waktuku milikku

Pati, 4 desember 2010

angin tak sampai ke sini

maafkan aku...

sering kukejar angin dan kukumpulkan di pekarangan

sekedar kubiarkan menggelitik rambut di pelipis

namun terkadang kuajak menguliti gerah

kadang aku hanya menikmati melihatnya berdansa

menari bersama daun daun gugur

menarikan sepi diatas debu debu yang tersapu

tanpa sadar sering ternyata kuundang badai

menyelinap diantara sepoi yang tak bisa kubedakan

lalu tiba tiba menderu deru dalam tenggat waktu tak terbilang

dan sesal mulai mengasah takut

maafkan aku

karena badai itu menderu di pekaranganmu juga

aku ingin berbicara denganmu tanpa angin terlebih badai

menghirup udara yang layak kita hirup

membiarkan angin berlalu di atas atap rumah

bukankah pekarangan tak mungkin tak berangin?

biarkan saja menerbangkan butiran sepi diatas debu

angin tak sampai ke dalam sini, telah kututup pintu



pati, 2 desember 2010

Senin, 29 November 2010

pasal 2

'lidah tak bertulang'
perempatan yang sama,
pengamen yang sama
pernahkah sajak bertulang?
betapa ia lidah penyair
mengapakah pula lalu sajak lahir menjelma dirinya sendiri
'uh, maaf, itu hanya sajak' kata penyair
ya, betapa sajak serupa lidah yang lekat di bibir penyair
yang senantiasa berkata 'maaf, sajak itu lahir sendiri'

pati, 26 november 2010

pasal 1

pernah ingin kubuatkan kau puisi tentang sepi
namun diam diam kata kata lantang menyuarakan makna
lalu hatiku mengalir begitu saja
tanpa bisa dibungkam
dan kau bisa berujar 'wahai sepi itu menelanjangi dirimu'
barangkali aku hanya berkata, ah aku hanya menemukan diriku, hanya sepi, itu saja

Pati, 24 november 2010

dan malam semakin larut...

Tanpa sepengetahuannya, bulan tenggelam di cangkir kopi yang tengah diaduknya. Terpotong potong, terlarut
Sepotong bulan : dibenamkan wajahnya pada kenangan yang terbingkai pigura berdebu, kumandang tawa gaung yang tertinggal, menggemakan pedih yang tersilet rapi
Potongan kedua : "halo sayang, apa kabarmu? aku baik baik saja, menunggu bulan yang tak juga muncul, adakah dia ditempatmu? aku kehilangan dia seperti aku kehilanganmu"... (bib bib tekan bintang, pesan tersimpan)
Potongan ketiga : mengapa jalan selalu terlihat tak sama? wajah wajah yang hilang, bougenville merah tak lagi berbunga, dimana jembatan kayu yang dulu senantiasa kita lewati?
Potongan bulan terakhir remuk di dasar gelas, berserak diantara ampas kopi dan puntung yang kehilangan bara, dan kesadaran yang menjauh, dan sepi yang terkunyah, lumat

Pati, 23 november 2010

capung

seekor capung tetaplah capung
walau hinggap bersisian kupu kupu
'hendak kucari tepian air nan lapang
buatku diam dan bercermin'
sedang kupu kupu menari dipijar cahaya
menuju bunga bunga mewangi
menuju indahnya taman hati
menghisap sari pati puja puji
capung bercermin di tepian air
tersirap melihat pantulan langit tak berbatas
dan dirinya yang hinggap diatas sepotong ranting
lelah terpapar matahari

pati, 21 november 2010

catatan buatmu, paitua

Telah kucari cari, sungguh
Tombol yang entah dimana
Andai kutemukan, barangkali
'Klik'
Bayang bayangmu sejenak pupus
Cukup beberapa menit saja, jeda
Lalu aku bersama dingin yang mengabut, luruh
Mencerna malam yang mengembun, hening
Bukan penyangkalan sayang
Hanya mencecap malam dan sunyi besertanya

Pati, 21 november 2010

sebuah jarak

Berkilo kilo meter darimu. Sepertinya senja turun lebih cepat, lalu siang kembali bertandang setelah menggamit pagi secepat dia mampu. Pernahkah siang mempertanyakan dirinya yang senantisa dinilai terlalu panjang atau terlalu pendek? Siang ini, berkilo kilo meter darimu. Seekor burung kehilangan arah pulang. Gelisah. Riuh tak henti dibalik daun daun yang tak lagi rimbun. Hidup, memulai yang baru. Berkilo kilo meter darimu, ada jarak yang tak terukur. Perjalanan tanpa denah sebuah benak. Lalu siang memilih lebih panjang. Lalu burung memilih nyanyian kehilangan. Lalu aku, kupilih mengukur jalan benakku

Pati, 19 november 2010

kenangan

Bagai singa lapar. Menunggu dengan setia, siaga hendak menerkammu dalam perangkapnya. Lalu kau terjebak, sunyi, dalam pesona yang menghisap habis hatimu. Warnamu menjadi warnanya. Biru kelabu, merah muda berseri, atau hitam kelam tak bertepi?
Pada jarak dua bola matamu, waktu terseret surut, beserta dengannya masa yang begitu entah, jauh. Sarat. Berbuah buah kerinduan, ranum.
Ah kenangan. Bergelantungan dengan tali kasat yang siap menjeratmu. Mengembara dalam genangan bola matamu. Berbual bual bagai mata air yang senantiasa pasang. Tersebab itukah betapa redam matamu?
Maka aku, di depan jarak kedua matamu, terhenyak, luluh.

Pati, 18 november 2010

kakek, catur dan kau

Aku teringat kakek lalu aku teringat catur. Kakek, catur dan bidak. Bidak bidak kayu, bidak kuningan, bidak perak, bidak catur. Misteri. Ya, pertanyaan yang selalu lupa kutanyakan pada kakek. Pion, barisan bidak berani mati yang patuh. Selalu berderap maju, satu satu dan mengapa? Ah sang patih, misteri, mengapa selalu berjalan serong? Kupikir sepertinya langkah bidak kuda indah, menari bak puisi yang terikat huruf L. Lalu apa dibenak sang tuan? Kuda lari, laju, lambat, lurus, lirih, lancar,lupa, lemah, lindap, limbung.
Kakek dan catur. Misteri. Aku lupa bertanya mengapa raja sering sembunyi. Aku tahu kau sedang bercatur dengan langkahmu. Misteri dan aku tak tahu mengapa

Pati, 15 november 2010

mimpi

Mimpi. Perlu sebuah malam untuk menemuinya. Sepasang mata yang terpejam untuk melihatnya, menyatu dengan lelap untuk menikmatinya penuh tak terusik. Adakah kata kata dalam mimpi? Entahlah, tetapi pesan yang dibawanya setiap pagi slalu sejelas langit tak berawan : itu mimpi. Sedang aku berpikir tentang mimpiku semalam, hatiku tiba tiba sepahit empedu. Banyak mimpi yang terlalu sederhana, ada juga yang terlalu gombal hingga bintangpun serasa berkelip di langit langit kamar bukan langit. Mimpi kadang menjelma perhentian, bukan penantian. Kira kira perlu berapa lama untuk memahami mimpi dan mengerti pesannya? Tapi mimpi kupikir sedalam hati, sekelam malam. Kecuali mimpi yang sengaja kita set di siang bolong. Suatu saat aku bermimpi, melukis mimpiku di matamu, yang lalu hadir setiap hari. Sungguh, aku takkan pernah bosan memandangnya



Pati, 13 november 2010

ketika tiba tiba ingin sekali kueja namamu

Ingat baik baik rasa hangat itu sayangku. Setelah sesuatu meminjam dan menyembunyikannya sejenak. Seperti merapi yang memilih meratap setelah sekian lama memagma diam. Lalu mentari dan embun hanya ada di langit hati kita, tersisa dari sedikit kesadaran. Tak usah kita bangun tembok tembok ratapan dengan nama kita terukir paling atas, atau tiba tiba rajin melukis lembah gelap diantara gunung gunung yang mengulang kesalahan hari kemarin di langit batin.
Ah, sayang, barangkali ada saatnya kita harus mengingat kembali tanggal lahir dan warna warna yang membungkus diri kita dalam kehangatan, dan mulai mengejanya sekarang.
Sayangku, akan kueja namamu sedemikian, diantara setiap langkah yang kueja disetiap persimpangan dan tikungan, dan akan kuhafal baik baik rasa hangat itu.

pati, 13 november 2010

happy birthday, paitua

paitua,

ketika pagi datang, hatiku mengembang

merimbun oleh tunas tunas harapan

dan doa doa yang tambun

(dan aku tak ingin berbicara tentang

pagi yang mengabur, waktu yang berkurang

langit yang sedang menyembunyikan warna)

pagi ini menyajikan sesuatu yang tak bisa kugambarkan

semacam keteduhan barangkali

mengganti sedihku pada sebatang lilin dan

seloyang kue coklat yang tak pernah mengembang sempurna

lalu puisi puisi yang menghilang entah kemana

paitua,

maafkan aku

hanya ada sedihku yang terbungkus

kertas kado tak berwarna

karena tak ada bintang jatuh

yang bisa ditunggangi harapanku : memelukmu



happy birthday my dear...



pati, 6 november 2010

daun

sedikit yang mengingatnya, seringkali tak dikenali, atau haruskah?

mereka mencari buah , lalu menjatuhkan penilaian

mereka memandang bunga, lalu memuja muji kecantikan nan semerbak

mereka menanam akar, lalu mencengkram beranak pinak

mereka memburu batang, lalu bertaruh sampai mati

tapi haruskah mereka mencari dan mengingatnya?

(lalu dirinya mulai menggulung, setelah ditampungnya mentari dan diserapnya udara, telah ada perbincangan dengan batang tentang gugur, tentang pengorbanan dalam ranggas, dan perjanjian dengan angin yang menjemputnya)



pati, 5 november 2010

dari balik abu, warna itu akan kembali

ketika kabar itu datang, kesunyian mengguruh menggulung keakuan, tak ada yang lebih selain : abu

betapa jauh batas langitMu dibalik kelabu itu, dimana bintang bintang itu kini?

betapa teduhnya foto tua di dinding bisu dan kotor : rumah, berdaun hijau, berlangit biru

oh wahai jiwaku, jika warna itu hilang dari langit dan pohonmu, dari tanah dan sungaimu, dari ternak dan kicau burungmu, tidakkah sungai dan air dan daun keteduhan jiwamupun mengelabu?

maka biarlah abu mencelikkan bathinku yang serupa abu



pati, 5 november 2010

selimut waktu

paitua,

betapa bijaknya waktu yang telah memenggal menggal dirinya sedemikian, dan membiarkanku melukisnya dalam setiap batang lilin, atau hitungan hari bahkan jam yang tak terhitung batas jemariku, indah bukan karena dengan begitu akan kulukis jam jam dan hari hari itu bagai lembaran benang yang saling merajut sedemikian membentuk hamparan selimut yang melebarkan diri terus menerus , membalut, rapat

terima kasih buat selimut waktumu buatku, paitua



pati, 2 november 2010

yang tak bisa menunggu

jangan kau lukis mendung itu sendiri
mungkinkah usai ketika kereta senja itu datang?
tidak, kereta tak menunggu
penantian tak bertepi
telah terpahat di dada stasiun
yang tak mampu mengubah dirinya

pati, 25 oktober 2010

panah

tertikam tanpa belati
tersayat tanpa sembilu
begitu saja meluka
tak perlu pisau itu, sayang
untuk menggores yang telah koyak
sebuah hati mati
diujungpanah katamu

pati, 25 oktober 2010

huruf yang enggan dipanggil : sajak sang penyair

sebuah sajak kebingungan
resah dan gigil mengendapkan nyali
disembunyikan wajahnya
diantara huruf yang mulai rontok
berjatuhan
(lalu mereka mereka-reka adanya
laksana pedang berlidah tajam
laksana hati yang bertulah
bualan yang memabukan
dan seribu tulah lain di punggung sang sajak
lalu sang sajak mulai menangisi kelahirannya
: tak bisa kah kau bentuk aku menjadi deretan huruf tak bersajak?)

pati, 23 oktober 2010

pagi

pagi mulai membuka tingkap tingkap dirinya
bagai kekasih yang setia
'mari mulailah melangkah'
lalu aku kebingungan mengumpulkan jejakku semalam
duh, sepertinya mimpi mengaburkan jejak jejak itu
kekasih sunyiku
hendakkah kau bagi aku kembali senyapmu?

pati, 23 oktober 2010

cerita tentangmu, yang tak pernah habis

betapa telah kupetakan dirimu di telapak tanganku
namun bahkan garis tangan milikkupun tak mampu kujabarkan
kau asing sayang,
pengelana asing yang rajin menapaki jalan jalan hidupku
menumbuhkan tunas yang bersulur sedemikian di hatiku
sepertinya dirimu yang terlukis di retakan dinding yang tegak berdiri kemanapun ku menoleh
pada hitungan kala
ada saat aku mengenalmu
sebab kau mimpi yang kerap bersekutu dengan malam

pati, 22 oktober 2010

puisi yang memintal duri

akan kubuatkan kau tiga puisi
setidaknya cukup buatmu
kembali bertemu pagi
dengan namaku tertera di ambang waktumu
/1/
sedang kutunggu dering bel teleponmu ketika sms mu lebih dahulu berdering di mataku : 'telah kusiangi rumput rumput liar dihatiku yang selama ini kau ributkan' dan aku termangu sebab entah kapan kusiangi rumputku sendiri yang kubiarkan hujan merawatnya hingga memenuhi taman hatiku

/2/
kudengar desah dahan ketika duri duri dilahirkan sepanjang tubuh merobek kulit, menghalau kerinduan serangga menjalari ranting dan cabangnya, lalu kudengar desahku sendiri ketika duri duri bermunculan di hatiku ganti tunas yang telah habis termakan rayap kesangsian

/3/
bahwa jarak seringkali tak berdepa
semata hati yang memilih meranggas di musim yang salah
dan membekukan hujan pada musim tak berujung

pati, 22 oktober 2010

mercusuar

di tengah terik yang melayang layang di atas Pati

aku takkan menangis

takkan kubiarkan hujan semusim

menenggelamkan hatiku



kubayangkan hatiku menyerupa perahu kecil

(bukankah kau sedang diatas speedboat

bersama dayangmu sayang?)

terombang ambing jauh dari tepi

tak tau arah hilir

tak mengenal hulu

tak mengerti haluan

tak memahami buritan





dan perahu itu mulai mengecil dan mengecil

lalu hilang dan karam

menyisakan pusaran dan gulungan gelombang

meluap luap begitu rupa

dan menghancurkan bendungan yang selama ini

telah kubangun dimataku



sayangku,

saat ini aku sedang sibuk membangun kanal kanal

membangun mercusuar dalam benakku

hingga kelak, jika tiba tiba hatiku

memilih kembali menjadi perahu kecil

ada cahaya yang menuntunnya

sesaat sebelum karam



pati, 19 oktober 2010

refleksi-4

'aku lupa wajahmu'
dan oh lihatlah
telah dicarinya dirimu
diantara pejalan asing di kotanya
disela buku tua di rak berdebu
di mimpi yang pernah dituliskan pada sebuah sajak
bahkan dicarinya dirimu ketika dia bercermin
sebab katanya,
'aku tak mengenal diriku
hingga kau merefleksikanku'

(dan cermin hanya menampilkan seraut wajah lupa)

pati, 18 oktober 2010

aku

entah tersebab apa

lautan senantiasa mengirim anak gelombang

menuju pantai



entah tersebab apa

bumi begitu diam ketika akar akar

menyerap habis isi hingga magma



entah tersebab apa

hujan habis dikuliti

oleh sajak sajak kelabu



dan tersebab itu

biarkan aku mengurai

makna jarak



pati, 18 oktober 2010

sahabat badai

aku terpaksa menyimpanmu di sudut terjauh ingatanku, karena
entah mengapa langkah langkah pendek otakku sampai juga
kepadamu dan akan senantiasa membuatku lelah, bagai ketakberdayaan
mengusir ketukan ranting di jendela ketika badai, atau menghalau
tetesan hujan yang menyelinap sela sela pintu
kau terlalu rajin menyimpan anak anak badai di setiap jejak sepatu,
yang entah mengapa pula rajin terinjak kakiku, meletup letup di sela
jemari, menjadi jalan cacing menuju darahku dan menimbun borok
di hati
aku tak kan mengingkarimu dari masa lalu, namun semata mata
menyembunyikan jejakku di masa depan, ah aku serupa benar
pakaian lusuh di tiang jemuran yang mencoba melupa jejak jejak
air ditubuhnya

pati, 18 oktober 2010

rumahmu, Tuan

Tuan, pulanglah ke rumah, satu satunya kekasihmu yang setia

tak sungkankah kau umbar senyum tawamu, dan pulang dengan

bekal keluhmu? tak ada yang lebih setia dari rumahmu, Tuan

yang tetap diam ketika kau umbar cerita dongeng kilau rumah tetangga

atau kau lukis jendela jendela cemerlang rumah sebelah

rumahmu diam menunggu hujan menjernihkan dirinya

dalam diam, lewat mata jendelanya dilihatnya engkau, Tuan

menari nari melintasi rumput tetangga

bercengkrama dengan kupu kupu yang berulat d halaman rumahmu

rumahmu diam, Tuan

biarpun matahari dan kicau burung kau seret pergi menuju mata hasratmu

hanya dalam kilau yang meredup, dibisikannya namamu, Tuan

'ah engkau yang melipat segala sesuatu dibalik punggungmu

kutunggu kau dalam lelahmu'



pati, 16 oktober 2010

puisiku terluka separah aku

awan awan pernah menyembunyikan puisiku
hujan pernah memudarkannya
matahari pernah mengkelantang puisiku
hingga aku tak mengenalnya lagi
pernah seseorang mengurung
membangun pagar pagar berduri
tapi entah mengapa
aku terluka dengan sangat
ketika kau sembunyikan puisi puisiku di matamu

pati, 16 oktober 2010

ranting

kendurkan saja dawai lidahmu, kekasihku
dan simpan serapahmu di rawa rawa tempatnya berasal
biarkan kepekaan yang tumbuh sepanjang depa rambutmu
tumbuh menjadi ranting berbuah lebat
dengan daun yang tak lekang termakan ulat
atau rengat oleh tempayak
dan aku yang lelah
biarkan kali ini mendekam di bawah rantingmu
menikmati kesunyian yang kau laungkan dengan gigih

pati, 15 oktober 2010

...kemarin itu

menujumu

seekor semut menggeliat
terjepit di sela ubin ubin kelabu
terkadang sepertinya
puisiku mengelabu
di sela patahan kata
yang berjuang menujumu

pati, 14 oktober 2010

hidup

ada yang hilang kemarin

entah siapa

entah dimana

dan hari ini takkan sama

juga besok

karena hari ini

ada yang dijemputNya juga



pati, 14 oktober 2010

siwalan

sebutir siwalan jatuh menggelinding

tergilas ban truk yang tak peka

hancur

berantakan

sepertinya dia hanya salah

memilih waktu meninggalkan sarang

apakah jenuh itu sebabnya?



dulu anakku merengek

siang malam bertanya

'seperti apa siwalan?

bagaimana siwalan?'

kubilang, makan saja cengkaleng nak

atau kelapa muda

dia tetap menjerit ingin siwalan

yang berubah menjadi keramat



hari ini anakku tersenyum

ada siwalan di jalan mama

seperti cengkaleng

seperti kelapa



ah, siwalan yang tak keramat

jatuh di waktu dan tempat yang salah

apakah karena jenuh itu?



pati, 14 oktober 2010

remote

Senin

06.00

Alunan suara musik yang menenangkan mengalun lembut,

membangunkan dirinya. Disingkapnya selimut, dan diraihnya

sandal kamar. Diraihnya remote control dan dipilihnya menu "MORNING".

Seketika mulai didengarnya gemiricik air hangat di bath tubnya.

06.30

Ketika kakinya melangkah di ambang dapur tak berpintu, aroma

kopi yang pekat dan wangi memenuhi ruangan dapurnya yang tertata

serba modern. Dilihatnya istrinya tersenyum manis, duduk di salah satu

kursi makan itu. Sambil balas tersenyum, ditariknya sebuah kursi di hadapan

sang istri, dan mulai dinimatinya sarapan pagi itu : secangkir kopi dari mesin

pembuat kopi otomatis, sepotong roti bakar dari toaster yang juga telah

tersetel otomatis.

07.00

Diraihnya tas kantornya, sejenak dicermatinya kembali penampilannya

di cermin besar yang menghiasi salah satu dinding ruang tamu. Sang istri

berdiri dengan anggun di samping pintu depan,, senyum manis tersungging mesra.

Dikecupnya kening sang istri.



Selasa

06.00

Rutinitas hari Senin berlangsung



Rabu, Kamis

06.00

Rutinitas hari Selasa berlangsung



Jumat

07.00

Dengan langkah ringan, dia berjalan menuju mobilnya yang terparkir di jalan masuk

rumah megah itu. Sejenak ditolehkan kepalanya, memandang lembut sang istri yang

berdiri anggun dengan senyum tersungging di dekat pintu.

Diarahkannya remote control dan ditekannya tombol menu : OFF

Pada layar remote tertera tulisan :

Hologram mode off

Lalu dilihatnya bayangan 'istrinya' perlahan mengabur dan menghilang.

Lampu lampu padam.

Seluruh dengungan dan suara alat alat elektronik berhenti.

Mulai dijalankannya mesin mobil seraya berbisik 'sampai nanti'

dan remote control di tangannya mulai distel pada mode "NIGHT" : ON pada pulul 21.00



pati, 13 oktober 2010



(mohon jangan ragu ragu menuliskan kritik)

mie

sudahkah kubilang selamat pagi?



pesan itu sudah kubaca

'jangan makan mie instan

selama ada nasi goreng'



apakah amang itu masih jualan di persimpangan?

semalam aku bermimpi

melihat malam bersamamu dan segelas bandrek

aroma kayu manis menyengat

pedas yang menggigit

kucari wangi itu pagi ini

yang tersisa hanyalah pedas itu



kupikir, sebaiknya kukoyak sunyi ini

tolong lihat di layar hapemu

'tulalit sayang, aku belum buat nasi

bisa kau kirim mie instannya?'



pati, 13 oktober 2010

kartu posmu, paitua

paitua,

kartu pos ini tak jengah; tak sedikitpun mengeluh

meski dengan sangat kupelototi ia, mencari makna

tentang toba yang temaram di ambang malam

tak terlihat hujan, atau kabut yang sering kita

ributkan, hanya air gelap memantulkan siluet

wajah bulan yang terbalik

dan bulan itupun begitu tabah, tak peduli

keriak keriuk tampak mukanya, tak ada protes

tak ada sedu dan keluh

justru aku yang entah harus berbicara apa,

kehilangan kata dalam sunyi itu



pati, 11 oktober 2010

siklus air

dan terus
dan terus
dan terus
tetesan hujan tercurah
bagai seseorang yang membagi rata mainannya
satu untukku
satu untukmu
satu untukku
satu untukmu
dan langit yang kehilangan isi rahimnya
berseru murka pada mentari
'kembalikan apa yang pernah kukandung'
selayaknya lelaki dengan penuh cinta ditaburnya kembali benih
dipenuhinya rahim langit dengan bakal bakal hujan
dan waktu membuat langit menceraikan kembali apa yang telah ditanam matahari

---cerita buatmu nduk---

pati, 11 oktober 2010

gigil

Bunga tebu itu menggigil tak mengerti, ketika wajah wajah dingin membabat lengan tebu yang menopangnya, membuatnya rebah, hancur, terinjak. Mereka merenggut lengan lengan yang menopangnya selama ini dan membawanya pergi jauh.
Hujan, yang dulu sangat dipuja, berubah menjadi ribuah panah, menikam, meluruhkan kelopak bulunya satu satu yang berkeriap di aliran tanah becek, berpendar diam.

pati, 11 oktober 2010

Senin, 11 Oktober 2010

selamat menempuh hidup baru, teman

di menara itu lonceng berdentang
burungburung terbang, kaget dan riuh
ada janji menanti diucapkan
diantara taburan beras dan doa
adalah waktu menyusup bagai sesuatu yang asing
menunggu dengan dingin
untuk memberi dan mengambil
lalu kelak pada waktu yang mengambang
diantara deru jam di bawah matahari
di menara itu lonceng kembali berdentang
mengantarkan hidup pada rengkuhan bumi

pati , 11 oktober 2010

bip bip : kali ini pesan buatmu

telah banyak pesan terkirim
namun maaf, pesan buatmu senantiasa terlupa
kutitipkan pada sungai, kau
juga segala tentang kau
'mengalirlah sampai jauh' kata lagu tua
pesanku :
bermuaralah di satu tempat

pati, 10 oktober 2010

di pekarangan suatu waktu

aku sedang menyisir rambutku
ketika seseorang melukis bayang bayang
satu satu diberinya wajah, mata dan telinga
yang tak bermimik, tak melihat dan tak mendengar

sedang kubersihkan sisirku dari helaian rambut
ketika kudengar dirinya mulai menjajakan bayangan
'ambillah satu, ambillah satu
aku akan setia menemanimu'

lalu aku mulai menghitung helaian rambut rontokku
ketika kulihat dia sibuk menghalau bayangan dirinya
yang rakus mematuk bayang bayang yang baru dilukisnya
satu satu rebah, tak berbentuk, tak beraturan

pati, 10 oktober 2010

tak bisa kugambar kau kembali

sehabis hujan kala itu
kemuraman masih menggantung berat
jalanan tambal sulam oleh genangan
aku ingat selintas ada wajahmu
tergambar di salah satu genangan
seketika buyar tergilas roda pedati

pati, 10 oktober 2010

sebuah pintu

Ah, sajak ini telah jenuh rupanya. Telah menggembung dengan cerewet.

Jadi telah kusiapkan koper koper baginya seandainya dia memutuskan

untuk pergi, belajar menjadi dirinya

"segeralah kau temukan dirimu

pergilah menuju pintu pintu yang tak terkunci

mulailah menjadi mimpimu"



Aku mulai bertanya tanya, dimanakah dia? Seperti apa dia kini?

Sebatang pohon, seekor burung, setangkai bunga, ataukah

tetap menjadi sajak yang kehilangan talentanya?

Hatiku sedikit menciut, membayangkan senyap dan riuh dunia

yang harus dihadapi, aku takut dia mengerdil terpangkas angin,

dan terhempas karang.



Di sebuah hari ketika langit begiu teduh dan pucat, ada sebuah

pintu bercat ungu, dengan gerendel mengkilat, pengetuk dari

kuningan, dan pegangan pintu yang pas ditanganku. Dengan fasih

jemariku membukanya, oalah, dibaliknya sajakku tersenyum.

Rupanya dia telah menjelma pintu, buatku menemukan aku.



pati, 8 oktober 2010

tarian ilalang

sebuah sajak terkubur di pekarangan
tepat di dadanya tumbuh ilalang
rapuh dalam sunyi
gemulai menarikan irama angin
lalu dipendamnya sajak sajaknya yang lain
'akan kunikmati tarian ilalang
sajak sajak hati yang terpendam'

pati, 9 oktober 2010

surat surat yang lupa ku poskan

1

jalan kita pernah sama, ketika bercabang, kita bersisian,

sayang, sepertinya susuran kita berbeda, jendela kita berbeda

tak ada yang salah, namun cerminmu tak bisa kau pasang

di jendelaku

apa kau pandang bukit itu lewat kaca mataku?

zku pernah mencoba memandang pepohonan lewat

matamu, aku hanya tak mengerti



2

waktu telah semakin tua, semakin bersahabat dengan senja,

jam jam berdetak pongah menunjukkan yang tersisa,

aku masih teringat ucapmu kala itu

'jalanlah dengan kepala tegak walau waktu bukan milikmu

namun ada selama kau ada'

jadi jangan pandang aku dengan telunjukmu yang bergetar

seakan aku pongah



3

diam, selalu rumah yang megah, buat amarah yang memagma,

sakit yang mengkristal dan berduri tajam, dan pandangan

yang kau baur dengan hitam

diam, sebuah pongah pada prasangka, seiring kepasrahan

dalam ketakberdayaan

kau dimana?



4

aku ada

kau ada

kita hanya tiada

pada waktu yang ada

lalu waktu membuat kita : diam



pati, 8 oktober 2010

tak berdasar

sebuah sumur
sebuah lidah
dalam
tak berdasar

: tiba tiba
jatuh
terus melayang
berguling menukik
tak bertepi

seekor murai berkicau
'aku bukan cecak
kudengar dan kubernyanyi'

sebuah sumur
sebuah lidah
seseorang tergelincir
mati

pati, 8 oktober 2010

tua

1
Bermula dari suatu tempat, tentulah seperti itu, berakhirpun di suatu tempat. Apakah aku takut tua, barangkali karena aku tetap membenci film film horor, dan senyum wajah wajah yang ditempel di pohon dan dinding dinding sepanjang jalan lesehan langganan nasi kucing kita yang menjajakan diri untuk dipilih, duh, mereka cuma mengingatkanku bahwa aku sudah tua ternyata, harus memilih.
Andai saja aku seperti ranting, tak memedulikan tua atau muda, buah buah diujungnya meranum, tua dan meninggalkan dirinya, tapi ranting itu tetap muda sayang, apa karena ketakpedulian itukah?
Berawal dari suatu titik, ya sepertinya begitu, jadi sudah sejauh manakah kita? Seperti baru kemarin, ah itu masalahnya...

2
Samar samar aku teringat wangi bandrek, lampu jalan, genangan becek, obrolan tentang kemarin yang membuat kita terbahak bahak, aduh apakah setua itu hari berlalu?

3
Aku telah mencarinya di buku buku pintar sayang, entahlah, mereka tak merumuskan turunan cinta ketika tua

pati, 8 oktober 2010

Kamis, 07 Oktober 2010

pause

benak

sebuah proyektor

dalam menu : rewind



sepetak padang rumput, di sisi padang garam

angin yang bersahabat

sunyi yang hakiki

sebuah rumah



bunga bunga tebu, gemulai dan rapuh

wangi gula

gemerisik yang mebuai

sebuah rumah



benak

sebuah proyektor

dalam menu : pause



(tunggu aku...)



pati, 7 oktober 2010

sarapan

aku merasa seperti sepi sebuah stasiun tua, sepur sepur itu berdentang ketika kereta kereta lewat di atasnya, tapi aku tak bisa ikut pergi, terikat sepi yang terantai pada bangku bangku peron, dan sobekan karcis yang terinjak di lantai basah, dan dengungan suara yang menyesakkan :

'selamat datang para penumpang

selamat jalan para penumpang'



pukul berapakah ini, sayangku, karena ada yang bertahan tidur di kelopak mataku, berkemah di sana dan memanam sebatang pohon duri rupanya, durinya kerapkali menusuk bola mataku ketika aku terjaga, menciptakan sungai dalam derai hujan, kau lihatkah setangkup mawar? hendak kupinjam tiap kelopaknya ganti kelopakku yang telah menyerupa kantung hujan



aku terlelap di dapur tuaku sendiri, kekasihku, lelah dan lupa resep nenek berikut seluruh mantranya yang mampu mengubah sepi menjadi sesuatu yang garing dan renyah, jadi aku hanya merebusnya bersama duri duri yang berjatuhan dari kelopakku, tak usah khawatir sayang, tak kan kusajikan di meja makanmu, telah kutelan ganti sarapan pagiku, hanya tolong bangunkan aku ketika kau tiba di stasiun itu, dan melepas rantai sepi yang membandul di leherku



pati, 7 oktober 2010

hang on

malam telah lelah
dengkurnya begitu senyap
maaf, rindu ini
kulipat sejenak
kelak, biarlah terpapar
sewaktu kau ingat

pati, 6 oktober 2010

siapa yang menandai?

seseorang mencatatkan waktu kedatangan, namun kepergiannya entah siapa yang menandai
dan guruh itu menandai kedatangan hujan yang redanya senyap teredam tanah
namun adakalanya tanah itu bukanlah rumah, dimuntahkannya segala sesuatu yang dipendam
ah, dimana angkuh itu
murka itu keluh bagimu

pati, 6 oktober 2010

teh

secangkir teh tarik : tersesat diantara yang kukenal, atau barangkali tidak, pernah kumiliki atau entah angan, gamang mencari keakuan disekian banyak aku, ataukah kau?

'telah kuseduh teh seruni itu
bersama doa doa leluhur
yang dibisikkan ibu di telingaku'

secangkir teh pahit :
tak usah kau cari aku pada jarak yang tak bisa kau hapus, sehari bagiku yang entah bagimu, tak selamanya semua bergerak lamban bukan? satu satu jam beku itu dicuri darimu pada sepersekian kedip matamu

pati, 6 oktober 2010

dua babak

tak pernah kulihat panas gersang bersahabat sedemikian erat dengan hujan seperti ini, bagai lakon dua babak dalam tema yang membuatku gelisah di tempat dudukku

lalu pada siapa sebenarnya aku mengeluh?

jadi akan kubuat demikian : kulukis pelangi berulang ulang, di langit, di tanah, di bisu, di gegap, di rincik, di sepoi

dan biar saja matamu mataku sibuk mendulang makna, ketika terjeda : bukankah demikian adanya rinai itu terserap tanah dan kabut itu terurai pergi?

pati, 5 oktober 2010

aku berkeping keping

sepertinya benakku pecah berkeping keping, lalu badanku latah mengikuti ketika mencoba memaksa diri memunguti serpihannya satu satu, itukah yang terjadi ketika hujan sore itu, semata hancurnya hati langit atau saat daun daun gugur berserak semata remuknya niat pohon?

kau selalu muncul serupa pohon itu sayangku, terus tumbuh, dan tumbuh, dan aku ingin membayangkan diriku serupa tanah yang merangkummu, setia ketika kau tumbuh subur ataupun gugur dalam gigilmu, aku merangkummu dalam setia dan rindu yang tak mampu kugambarkan, entahlah apakah menyerupa kaki kaki meja itu atau pegangan pintu itu yang entah kupakai menutup atau membuka pintu

hari ini setia juga memelukku, sepertinya dia menyerupa tanah bagiku ketika aku serupa pohon baginya, dengan kesetiaan bagai kaki meja dan pegangan pintu

duh sayangku, benakku hancur berserakan

pati, 5 oktober 2010

tikungan

kerentaan tumbuh jauh di dalam
waktu terus berlalu bukan, sayang?
mereka , wajah wajah tak ku kenal
patahan hari berserak juga
di setiap depa tubuh wajahnya
'kita ini peminjam hidup
berlalu laju pada renta'
dan aku merasa senasib
dengan tikungan tua ini
menunggu bis terakhir
menurunkan seseorang
; betapa rentanya rindu

pati, 3 oktober 2010

Selasa, 28 September 2010

sajak tak berjejak

kita hanya patung keras kepala

memahat sajak sajak

mencari kata kata

terjebak kamus

ah biar saja, lalu katamu

itu sajak patung



orang orang mencari jejak patung

'oh patung ini berhasil menjadi dirinya

tak ada jejak yang kami temukan!'

kita kemudian ramai menjelaskan

diam itu jejak

berupaya mencintai adanya

jadi jejak itu cinta

dan kita menjadi patung yang bahagia

memahat sajak sajak cinta yang diam



orang orang mulai membuat

perahu dari sajak

mengapung di air tenang dan bergelombang

pakaian dari sajak

menutup diri serapat yang terbungkus

pagar pagar dari sajak

membenteng semak semak duri

layang layang dari sajak

membalas sapaan angin dan matahari

bendera dari sajak

berkibar menyerukan cinta dan kesunyian



dan kita kembali menjelma patung keras kepala

membuat sajak sajak cinta

yang setia pada diam

tenggelam

koyak

putus

hilang



pati, 28 september 2010

panggung

sebagian kota bersiap tidur
sebagian bersolek
menyisir tubuh
sebagian memecah batu
menyusun keringat
lampu lampu jalan
jauh dan setia
bagai cahaya panggung
tak peduli lakon yang berlangsung
ada sesuatu yang ganjil
karena aku bagian latar

pati, 27 september 2010

sajak hitam

dari balik jendela
semua terlihat sama
langit hitam
daun daun hitam
tanah hitam
batu hitam
barangkali hitam itu
lekat di kaca jendela
rakus memakan semua cahaya

kujauhi jendela
seiring malam yang jauh

pati, 26 september 2010

di bawah mendung yang pecah

Langit september, murung, dan tiba tiba pecah berderai derai, memukul kaca jendela, tetesannya berlomba mencapai ambang jendela

Paitua, di luar tak ada penjaja payung sewaan, tak ada taksi dan motorku tak beratap, hanya langit yang murung dan pecah

Hujan sedang terjun bebas rupanya, dentumnya memukul seng seng dapur, jadi teringat film film perang, di salah satu adegannya mereka menggigil berperang di tengah hujan bukan?

Sungguh, sepertinya aku harus melajukan motorku, tak di bawah payung, hanya langit mendung yang pecah

pati, 26 september 2010

Sabtu, 25 September 2010

kredo september

lengan september seperti mengibasku : 'pergi sana, jalan sendiri' duh, aku kelimpungan, jadi kusambar saja ujung bajunya, 'temani aku, temani aku' tak pernah aku semalu ini mendengar rengekanku sendiri

oktober, sang saudara tua, selintas memunculkan wajahnya, aku lupa entah dia tersenyum, entah melengos, hanya kudengar desisnya :'adik kecil, adik kecil, dimana keliman rok rokmu tempat kau sembunyi?' dan sedih itu membenamkan senyumku sendiri : telah lama bukan aku tak ber-rok?

lalu kumpulan hari yang kulupa namanya, menepuk bahuku dengan keramahan yang bisa mereka tawarkan: 'sudahlah, melebur saja dengan kami' dan aku berlari lari meminta seseorang membuatkanku sepotong rok tempatku sembunyi

pati, 25 september 2010

sajak hati

Hati,

pelimbahan,

ungunya duka
birunya rindu
kelamnya sakit
merahnya angkara,

lalu,

dimana sang umbul?

pati, 25 september 2010

ketika cahaya itu padam

Ada wilayah tak berambu, selapis demi selapis mengirismu. Tak ada yang bisa bedakan kau dan udara tipis, menggantung sama sama rendah. Sebenarnya, apa yang mereka tanam di dadanya? Bintang matikah atau hanya lubang hitam

Ada wilayah tak berdenah, kau bisa petik bintang di pinggir kali, atau membuangnya di sumur terdekat yang kau jumpai.
Betapa kelam mata mata itu, mati. Jangankan hati, kadang kupikir betapa ratanya wajah mereka, tak berhidung, tak bertelinga, hanya dua rongga gelap, tak berdasar.

Kulihat betapa matahari mencacah kulitnya, membenamkannya dalam ilusi dunia tak berneraka.

pati, 24 september 2010

Jumat, 24 September 2010

kepadamu

ijinkan aku undur
diam
lindap

tolong,
biarkan hari
menggulung sunyi
melipat murung
sejenak saja

: lalu senja turun
hari ini tersudahi
terlupa
lindap
(dan kami sibuk berbagi tempat)

pati, 23 september 2010

sajak pintu

sebuah pintu
tercipta
dibuka
dan ditutup

apakah hati
sebuah pintu?

pati, 22 september 2010

pekarangan ketika hujan

daun daun jambu basah
menggigil
galau

seseorang sibuk memindahkan jemuran
mengeringkannya dalam pikiran
: esok, biarlah tetap esok

daun daun itu belajar luruh
bersama tetesan hujan
menyambut tanah

dalam hujan
pintu pagar merana
tak ada yang membuka
tak ada yang menutup

pati, 22 september 2010

suatu pagi ketika cahaya membangunkan hujan dalam diriku

pada pagi ketika langit terbuka, dan cahaya baru saja didirikan, ada yang memunguti bintang yang kukumpulkan satu satu, lalu sebagian pergi bersama kunang kunang, di luar suara suara riuh dikepakan, namun entah mengapa, merasuk dalam jiwaku menjadi kesunyian yang terasing
kekasihku, bilakah kesenyapan ini berlalu?
aku hanya rindu memunguti serpihan hari
yang terbiasa kau panggul di punggungmu

pati, 21 september 2010

Kamis, 23 September 2010

generasi warisan

dulu anak anak mudah menggambar bumi
kini mereka bertanya kepadaku,
bagaimana bulat itu diantara kotak
sudut lingkaran kecil dan garis batas?

dulu anak anak pintar mewarnai bumi
sekarang aku bertanya bingung,
mengapa kau gambar langit hitam
daun coklat gunung merah
lalu sisanya hanya abu mengelabu

dulu mereka pintar di bumi
tapi sekarang konon mereka bodoh
karena tak pandai menggambar bumi
karena tak pandai mewarnai
bukankah lantaran kita mereka tersedak pasal pasal itu?
jadi mari berperkara karena terlalu bodoh
mewariskan kebodohan

pati, 19 september 2010

nalar yang menjalar

kupikir, kesedihan bagai sulur merayap
menjerat kaki dan membuatmu terjerembab
kau pintal nafasmu satu satu
namun satu satu paru parumu hilang
cerita terpantul di awan
terburai melekat pada debu di ujung sepatumu
ada batas sedihmu di sana
siapa yang menyangka langkah itu sampai juga disini?
terkadang kesedihan juga bagai lintah gemuk
menempel erat pada lubuk yang menyulap dadaku
menjadi rahim debur isak
bergelombang membuatmu oleng
sungguh, tak bisakah perlahan saja
aku telah terkapar hampir rubuh

pati, 19 september 2010

rebah

jalan daendels itu terbentang lebar
lengang dan rebah tersambit angin
tiba tiba aku ingin menggambar jendela dan pintu
berjajar terbuka di sisi sisinya
tempatku lari ketika jalanan ini mulai menelanku

angin memecah mecah cintanya untukku
'teduhlah, teduh jika itu yang kau mau' katanya
yang berdendang di kupingku malah pekerja rodi
seperti aku yang tertelan jalan daendels

pati, 20 september 2010

koin

sebuah kota tua
yang sepertinya terlalu tua mengejar ketinggalan
anak bertelanjang dengan lagu yang sama
'lemparkan koinnya kakak
lemparkan koinnya ibu'
tahukah dia perlu 8 koin
untuk segelas teh hangat?
ah, kota tua yang hangat

Medan, 18 september 2010

aku memahamimu

sekiranya gelap menyaru malam
mengendap endap menyusup lubuk
biarlah mata api membakarnya menjadi abu
hingga serapah badai dalam petir dan gelombang
tiada melibas menjadi asap
kusesap sumpahmu
hingga nadir
dalam pasrah kubiarkan alam membacaku

p.siantar, 17 september 2010

Selasa, 21 September 2010

benak

kuajak bermain main
menjadi sebuah surat, syair puisi yang karam
menggelinding di antara aku dan kau
menciut menjadi kertas usang

Kuajak menyerupa
kecubung yang tak lelah terbalik
embun yang enggan jatuh
kupu kupu vampir yang menghisap
habis sukmaku

Tiba tiba berjatuhan ke dasar wajan
beraroma petai dan durian
kusaring dalam gelas
“istirahatlah jika lelah”
tetapi teganya ia
mengambil posisi di antara bibir
setelah sebelumnya
bersemayam di dengkul

p.siantar, 17 september 2010

tentang saat ini

..........: paituaku

melintasi meja makan
anak anak kunci berserak
di atas baki biru
hinggap di mataku

anak kunci pintu depan
anak kunci kamar
anak kunci gerbang

ada jarak dari ruang ke ruang
kekosongan yang beranak pinak
kumengerti, sangat

pernahkah terpikir
ada saat kita menikahi puisi?

p.siantar, 17 september 2010

bola lampu

Ibuku sedih, mencari cari bola lampu,
lupa, kami telah menggorengnya kemarin
kini berkelontangan dalam perut

Sepertinya ibu mulai ingat, atau barangkali kelontangan itu menyengat kening ibu
menumbuhkan uban di rambutnya
melukiskan keriput tertelan dalam senyumnya
lantaran itukah nadinya menciut?

Ibuku terbaring di sudut, tak mampu bergerak
namun kelontangan itu sepertinya masih terdengar
mulut ibu menggumamkan kidung
yang selalu berhasil membuat kami terlelap
dulu
kelontangan tak mau senyap

Ibu tak lagi mencari bola lampu,
Tuhan menyiapkan lampu darurat di rumahNya
aku harus tetap mencari
di tengah kelontangan

p.siantar, 17 september 2010

kelak

Tak jenuh jenuh aku berpikir

'kemana arah pulang?'

di lorong kerongkonganku, sarapan pagi menusuk amandel



Adalah hidup,

membenihkan hasrat

mematahkan mimpi

memenjarakan kenangan

membangunkan hantu



Demi cinta

kuhela hujan dari pintuku

membawa matahari di meja makan

panasnya membakar bulu mata

mencipta celah bagi banjir

hujan yang terusir



Telah kusiapkan bahtera, kekasihku

atas nama cinta

menujumu

kelak



p.siantar, 16 september 2010

Rabu, 15 September 2010

doa pada jalan yang bercabang

Di depanku jalan bercabang

aku jeri

karena lelakiku tertinggal di belakang

dengan hatiku di ujung jari



Pada siantar

kuhantar doa doaku

laksana kekasih

biarlah kita bertemu



Dan ular ular yang merayap di hatiku

yang geliat ekornya menutup pandangku

yang melata menggetarkan bibirku

denganketeguhan kuremukkan kepalanya



Dengan hati sejajar tanah

aku berseru pada Tuhan

(Tuhan yang menggenapkan aku dan lelakiku)

biarlah terjadi kembali

hari penggenapan itu



p.siantar, 15 september 2010

panen

di sebuah sudut ladang sunyi, sekelompok pohon jagung meratap

bertanya akan diri yang mengering terbengkalai

pada setiap ketiaknya, mencuat bonggol jagung

kering, kuning, sekeras batu yang berserak tak jauh dari situ

bonggol menengadah pada langit ketika matahari bersinggasana

'kuning mana aku dibanding kau?'

matahari diam, lalu disapanya tanah

'ah, kering mana aku dibanding kau?'

tanah diam, lalu ditanyanya angin

'terlupakan mana aku dibanding kau?'

angin diam dan hanya berlalu

bonggol jagung memulai kembali ritualnya

pada matahari, pada tanah, pada angin

dan diam tetap ritual balasan



di sebuah pondok papan lapuk

seorang lelaki menyerah pada kesunyian

ternyata diri hanyalah daging

yang sanggup berpuasa dalam rentang waktu

ditunggunya selama ini

jagung jagung menguning yang menghiasi periuknya

dengan garam pada pagi, dengan garam pada siang

jika tahan, dengan garam pada malam

lalu hari ini ketika bonggol bonggol itu siap di panen

lelaki itu telah dipanen sang maut terlebih dahulu

dan matahari, dan tanah, dan angin

tak tahu cara apa hendak mengabarkannya



p.siantar, 15 september 2010

ketika persahabatan sekeping cookies

ketika kutawarkan diriku

menjadi tepung, menjadi mentega, menjadi telur

dalam takaran seimbang

ternyata tak bisa

karena yang dibutuhkan tinggallah :

gula yang harus selalu manis

sejumput pernak pernik hiasan

kau tinggal menjadi sukade, kismis atau keping coklat

atau ada sejumput lain yang diperlukan : perisa

mana yang kau pilih serupa buah, bunga?

selama beraroma manis, katanya

duh

biarlah jika demikian

sesaat saja biarkan aku menjadi seorang penikmat

cookies buatanmu yang tersaji dalam piring keramik



p.siantar 15 september 2010

tentang arah jalan pulang

tunggulah esok, waktuku terbang

sejajar awan, lurus menuju bungabunga tebu

meninggalkan barisan sawit

tegak, berbukubuku lingkar tahun

tiupkan doa untukku sayang

selagi langit masih luas menampung

dan tolong tandai kotaku

dengan pita ungu rindu

lalu tuliskan untukku

:' diantara celahcelah pelepah sawit

aku diam menunggu'

tenunlah hari sayangku,

bersama benang masa lalu dan nanti

hingga kau mampu berdiri di kini



P.



p.siantar , 14 september 2010

inang itu menyerupai indung

inanginang berjalan kaki

di sepanjang jalan menuju Meranti

tak menghitung terjal yang harus didaki

sedang tempayan air disangga leherleher rapuh

bukan pada kereta yang dikayuh



maka ketika aku menempatkan diriku

gegap menanti penjual sayur yang tak lalu

mereka menamparku dengan jitu

aih...aih..., katanya gembira

hari ini indah, eda



(aku teringat waktu asali

apakah indung meyerupa itu

gembira menggembalakan dukanya?)




p.siantar 14 september 2010

Selasa, 14 September 2010

runcing

kerinduan menelanjangi diri

meruncing pada tiap helai gaun

berjejer di tiang jemuran

meminta angin, memohon mentari

dan hujan mengajarkan mendua hati

dalam pesona yang tak pernah termengerti



waktu tersenyum

telah usai, katanya

kunjunganmu pada kerinduan yang senyap



aku berkhayal kapsul waktu

yang saban hari bisa kutunggangi

melipat lipat luas angkasa dalam dompet

seperti karcis waktu berkunjung

: berjagalah di loket, sayangku



waktu terbahak

telah usai, katanya

waktunya terjaga



p.siantar 14 september 2010

suatu ketika

Dan di toba kami mengukir waktu
Memahatnya dalam alur paling kerap
Biarlah melimpah yang terekam
'Kami ada bersama waktu
Yang kau ukir tak sedalam
Ukiran rupa kami pada tebing tebing'

Tongging, 11 september 2010

Sabtu, 11 September 2010

laguboti

Nak,
Hendak kubisikkan di telingamu
kisah pada sebuah pohon kehidupan
Ada nama nama tercantum dari akar hingga ke ujung daunnya
Ada namamu di situ
Dan di sinilah akar itu bermula
Laguboti...laguboti
Di jantungnya tersimpan pandora kenangan
Opung opung doli pada tugu tugu batu
Menunggumu, nak
Menuliskan namaku
Pada batu yang kau pahat kelak

Laguboti, 10 september 2010

tentang waktu yang membeku menurutmu

jeritan beribu klakson membangunkan kota

'hai..ini sebuah hari baru' sebuah ironi ketika

kau membeku didalamnya, waktu berjalan

mundur dalam irama yang hanya dimengerti

seekor semut, bukan aku

sebuah halaman, sebuah pagar, tanpa

pohon jambu, tanpa serakan sandal,

dan aku yang berbagi pagi denganmu

pagi yang sama, benarkah?

siang yang sama, benarkah?

betapa 'senja yang sama' sebuah frase

kerinduan yang kuharap kau mengerti

sayangku,

menulis buatmu adalah sebuah jarak

adalah tentang sesuatu yang hilang

tentang pagi dibawah langit yang sama

dalam rentang jarak dan waktu yang hilang



p.siantar, 9 september 2010

...dan BSA pun meriuh pergi...

Martoba
Parluasan
Horas
Ah tidak bang,
Aku pulang ke rumah saja

P.siantar, 8 agustus 2010

terasing

kupilih jalan sunyi

jika dengan begitu kumiliki hatiku

namun, ...dimanakah engkau?

kupilih jalan sunyi

jika dalam diamku mampu kuhadapi diriku

entah kau ada atau tidak

kupilih jalan sunyi

walau sunyi membunuhku



p. siantar, 8 september 2010

Rabu, 08 September 2010

ada cerita

ada puisi kelabu
pada cerita hujan
'kulukiskan rinduku di pelangi
namun mentari tak memunculkannya'
ada puisi kelabu
di cerita awan
'kukandung setiap butir debu
amarah sinabung yang terlupa'
ketika tiada biru di langit
tak kau temukan hijau di dedaunan
bahkan tiada kilau mentari di bola mata itu
hendak kau taruh dimanakah binar senyummu?
maka ada puisi kelabu
di cerita...mu

p.siantar, 7 agustus 2010

inang, sejenak kusinggah

mari, kuantar kau ke siantar
selagi langit menggulung layarnya
dan cerita awan menampilkan benakmu
itukah sebabnya kulihat engkau
dikumpulan awan bak biri biri
dikepak bentangan pesut terbang
juga di kumpulan belantara awan murung
yang mengusir cerita awan lucuku pergi
mari kuantar kau ke siantar
pada deru cator jaman kompeni
yang menyerukan rindumu
'eda...eda..., kau lihatkah itomu disitu?'

pematang siantar, 6 september 2010

bukan kisah pengantar tidur

(...sebatang bunga bertunas, mekar, mewangi...)

aku memandangmu seakan kau bagian diriku, bahkan aku mengenalmu melebihi pengenalanku akan angin, awan dan hujan sekalipun. aku melebihi siang bagimu, karena adaku bagimu tak paruh waktu, namun kekasihku, laksana lembab memerlukan embun, hangat memerlukan mentari dan hujan memerlukan rintik, adaku perlu adamu

(...dan duri muncul di sepanjang batang, tajam, beracun...)

ah kekasihku sepertinya ternyata aku tak mengenalmu, karena lebih mudah membaca angin, kabut, dan hujan sekalipun. tak bisakah kau sebening buku yang terbuka? ucapmu tak kupahami, aku terluka ketika kau menjelma malam, bayang, dan buih yang hilang

(...maka bungapun layu, mati...)

kau hilang...
aku ...entah
karena semesta tak bisa membacaku

pati, 2 agustus 2010

luruh

Seorang lelaki tua duduk mencangkung di perahu kayunya yang kecil. Lamat lamat

terdengar suaranya lirih mengalun jauh...

"Kakek, apakah perahu kita hendak menuju rumah matahari?"

"He..he..he.., entahlah cucuku, sejujurnya, aku tidak tahu dimana rumah matahari.

Namun ya, perahu kita menuju matahari tenggelam", mata tuanya bersinar teduh

dan bangga memandang cucunya, cucu laki laki satu satunya, bocah yang tak bisa

diam, dengan segudang pertanyaan dan rasa ingin tahu sebesar gunung.

Kemudian didengarnya keluhan lirih istrinya dalam nada mesra yang begitu ia

kenal, "Ah Stranger, kau dan lautmu, kadang aku berpikir kau ini menikahi siapa,

aku atau laut itu?"

"Oh bunda, haha, jelaslah ayah menikahimu, karena bukan lautan itu yang

melahirkan aku" sahut anak perempuannya, yang seperti kata orang orang, dan

harus diakuinya, benar benar mirip dirinya, dengan ketangguhan , keras hati, dan jiwa

hangat. Dimanapun putrinya ada, sepertinya dia membawa mentari bersamanya.

Hanya satu ciri sang istri yang dimiliki putrinya, kecil mungil dan dekik di pipi kiri.

Dipandangnya wanita yang telah mencuri hati nya bertahun tahun lalu, dan telah

memberinya mentari. Sungguh tahun tahun bahagia yang mengalir bagai sungai.

Dalam benak lelaki tua itu, berlarian kelebatan kenangan hari ketika dia dan sang istri

menanam sebatang pohon jambu di depan rumah mungil mereka, kebahagiaan istrinya

ketika bunga pertama muncul bersamaan dengan berita kepastian kehamilannya,

celoteh purtri mungilnya belajar jalan disekeliling batang kokoh sang pohon, pesta

kebun pernikahan sederhana sang putri dengan meja meja perjamua bertaplak putih

di bawah keteduhan sang pohon, dan sebuah hari kelabu berangin ketika satu satu

tubuh orang yang dikasihinya itu, tubuh sang cucu, tubuh putri mentarinya, dan tubuh

sang istri yang mencuri hatinya bertahun tahun lalu, dimakamkan bersisian didekat

sang pohon.

Suara lirih pak tua makin terdengar sayup sayup sejalan dengan hanyutnya perahu

kayu kecil itu menjauhi tepi, menuju matahari tenggelam. Ditangan pak tua,

tergenggam sepucuk daun jambu menguning yang telah diajaknya bercakap cakap

sebagai cucu, putri dan istrinya.

Daun jambu terakhir yang luruh sesaat sebelum pohon itu mati terserang hama,

kamarin.



pati, 1 september 2010

bahasa diam

terkadang diam menyerupa rahim

melahirkan anak anak pemikiran

kadang seperti asap, kadang kaca bening

kadang puisi pelangi, kadang puisi hitam

lalu bathin, ah, telah kau terakah neracamu?

ketika bayang bayang menyerupa pencuri

mengendap endap menyelinap

hati yang tiba tiba berjendela

maka diam berwujud doa

bagai oasis bagi musafir



pati, 31 agustus 2010

serupa puisi angin

kujelmakan hatiku serupa akar, hingga ketika

mereka berbicara kemungkinan, hanya satu yang

kutahu, tumbuh semakin menghujam hatimu

kujelmakan rinduku serupa puisi yang

kusajikan pada piring piring angin

yang melaju ke arahmu o sinabung

sinabung o sinabung

kuharap redalah amarahmu



pati, 30 agustus 2010

benalu

kusentuh janggutku, tetap kelimis seperti kemarin

duh tentu saja bukankah aku perempuan?

jadi mengapa juga nuraniku gelisah pada katakata

yang senantiasa saja merangkak

padahal bayi belum juga waktunya disapih

tetapi mungkin inilah waktunya mencari inang

untuk mulai mengajarinya berbicara selagi berlari

adakah ia tumbuh di tunas pohonmu

di bintil akarmu

di kambium batang keringmu?

masih saja tak tumbuh janggut di daguku

dan masih saja aku bingung

melihat pohon benakku inang bagi banyak benalu



pati, 26 agustus 2010

monolog

kepada pagi aku purapura cengeng

merajuk menahannya pergi terhisap siang

dan aku menantangnya bertukar peran

:aku jadi pagi dan pagi jadi aku

lalu kami bertukar kitab percakapan

yang dirancang bukan untuk diucapkan



ketika pagi mulai robek

kuputuskan aku menjadi aku saja

dan mengekormu kemanapun kau pergi

kali ini aku sungguhsungguh merajuk

mengetahui betapa tipisnya siang tersisa

aku merajakan hakku memonopoli waktu

yang setiap detik selalu kurindu sedemikian



aku menyukai percakapan kita

tak perlu dihapal

tak perlu rancangan

tak perlu persiapan

tak berbeban



pati, 25 agustus 2010

/6/

aku terpaku pada layar monitor kosong

entah bagaimana katakataku tibatiba mempunyai sayap

ia terbang hilang dalam kabut

tertelan waktu yang menamakan dirinya sepi

dan aku menyesal tak bisa menggambarnya padamu

apa layar monitor kosong bisa?



pati, 24 agustus 2010

pameo

dengan giat disapunya rontokan bunga mangga

'ah Tuhan, terima kasih gerimisnya

lunas terbayar rontokan bunga bunga

jadi tak usahlah anak anak sakit bulan ini'

karena konon entah bagaimana

nenek menyematkan sakit pada bunga mangga

samar samar didengarnya kidung kodok dalam parit

dia tepekur, entah doa siapa yang telah didengar Tuhan :

tiba tiba hujan turun deras

merontokkan seluruh mangga ke parit

tertempel kodok kodok

mengapung terseret derasnya arus



pati, 23 agustus 2010

/5/

kapalmu, kapalku, bersandar pada dermaga masingmasing.

layarlayarnya terobek, berjuang mencari nakhoda

'perjalanan telah mahal, belajarlah pada asap dan api

yang setia mengucapkan tanda di langit'

dua dermaga, dua duka. aku di pematang garam,

kau menabur garam pada danaumu.

dan aku masih saja tercenung,

bagaimana rindu mengenal asap dan api?



pati, 23 agustus 2010

kepada paitua ~3~

kubayangkan betapa kita akan bergantian

menggambari selembar kertas kosong

dengan wajahwajah hati, jejakjejak kaki,

dan pundipundi percakapan

yang isinya kita kumpulkan dari hari yang lewat



lalu pada ujungujung kertas yang mengikal

kita hiasi dengan roman muka kita

sebuah senyum yang bisa kita artikan apa saja



pati, 23 agustus 2010

kepada paitua ~2~

dan kartu pos ini bergambar kosong
taukah kau paitua,
ada yang bingung membacanya
ada yang terpingkal
ada yang mengartikan dengan khusuk
padahal kita cuma tak berbincang
dengan pesan : hati kita tetap putih

pati, 22 agustus 2010

kepada paitua ~1~

,,paitua...

jadi inilah kita

dua titik yang tergambar di peta

diantara lambang laut, gunung, daratan

tapi kupikir rentang kita hanyalah

selembar kertas kosong

puisi setengah jadi

sebuah kartu pos berlanskap hatiku



pati, 22 agustus 2010

/4/

ketika kau pergi

menuju terbenamnya matahari

kugambar dalam lukisan benakku

beribu puncak, berlaksa batas cakrawala

hingga kau lihat

didalamku matahari juga terbenam



pati, 20 agustus 2010

/3/

dan seperti yang sudahsudah kita memperbincangkan puisi

puisipuisi yang tak habishabis berbicara tentang kita

'puisi terakhir yang dia kirim menusukku' katamu

hmmm, aku hanya menggangguk

membayangkan bangkai puisi yang ditinggalkan begitu saja

tertikam komen paling kejam dan paling puisi



pati, 20 agustus 2010

/2/

ketika pagi datang tanpa malumalu

kusambut ia dalam damai

'silakan masuk,

kemana saja kau kemarin?

bisakah kau antar aku

menjemput malam saudara jauhmu

dengan demikian

kau bisa bertandang kembali lebih cepat'



pati, 21 agustus 2010

/1/

andai aku bisa berkata

'aku pergi untuk kembali'

tapi kau dan aku tau

aku bukan ombak

hanya kunangkunang semusim

hinggap di kotamu



pati, 20 agustus 2010

no katalognya sudah kau simpan?

pedih sungguh,

cerita yang kau sampirkan di kupingku

tetapi aku harus menaruhnya

karena hendak kusampirkan kacamata

dikupingku sebelum ia lelah

tak usah khawatir

ceritamu kutaruh di hatiku serupa rakrak

hanya...

tolong jangan hilang katalognya



pati, 20 agustus 2010

Jumat, 20 Agustus 2010

sketsa kota pada hari yang kesekian

tibatiba saja hatiku bagai labu

menggembung antara penuh dan kosong

diamdiam berubah menjadi celengan

kalut memunguti jejakjejak tercecer



hari ke berapakah ini

sepertinya perjalanan belumlah jauh

lemak gandul masih menempel diujung lidah

dan aku masih mengamati duriduri bandeng yang hilang



dan detik jam selalu harus kita dekap

agar pohon jambu tertera di dalamnya

pagar biru

barisan pohon kapuk

ayunan bunga tebu

bahkan terik yang sigap menyambutku



dan padamu,...

senja di padang garam

kusemai benih hati labuku



pati, 20 agustus 2010

di cerita hujan kemarin

hujan baru saja reda

tanah becek masih menyimpan cerita

laronlaron yang tak pernah belajar

sibuk mencium bara lampu

satusatu sayap robek

satusatu jatuh mati

tiada keharusan kau menaruh haru

semua kembali ke aawal

hujan

tanah becek

laronlaron

lampulampu

mati



pati, 20 agustus 2010

ketika kau berdiri di situ

aku membangun belantara dalam benakku

dengan demikian kau peduli

bukankah dibutuhkan waktu lebih lama, buatmu

mengeja aku



aku membangun kanalkanal dalam hatiku

kubuat gerbang indah jalan masukmu

dengan demikian kau pahami

tak ada jalan keluar, buatmu

menihilkan aku



maka hatimu akan menjadi mahkamah

yang menimbang langkahlangkah

mengurai labirinlabirin, buatmu

menemukan aku



pati, 19 agustus 2010

pati

maaf, aku harus pulang

memang bukan menujumu

di nadimu aku tersesat

namun pulang pada dekapan

yang mengaliri rongga dan nadiku

serupa senja menuju pelukan malam



pati, 19 agustus 2010

yang melesat melebihi langkah

ada jarak yang kau tempuh

harapmu bahkan celahpun tak ada

lalu ketika kau berdiri di ambangnya

hendak apakah?



tergesa menyusuri jalan

harapmu hingga di titik penghujung

lalu ketika akhirnya sebuah persimpangan

hendak kemanakah?



mengapa hasrat bersayap elang

selalu membenturkan dirinya pada busur

berlari melesat di jalur bebas hambatan

selalu selaksa depa di muka langkah?



sepertinya...

karena pada bintang hasrat mematahari

pada bumi langkah ini terbenam surut



pati, 19 agustus 2010

salah jalan

adakah taburan debu kata hinggap di terasmu?

maaf, biarkan saja di tempatnya

sesore nanti akan kukumpulkan kembali

atau bisakah kau tunjukkan saja arahnya

dia mampu mencari arah pulang



pati, 18 agustus 2010

lukisan

mencoba meraup bayang rupa garam

ketika hari mulai terasa hambar

harapan serupa merpati membumbung jatuh karam

ketakadilan dipertontonkan serupa gambar



arsirannya kurang menutup borok

warnanya kurang cerah untuk luka

beri bayangan pekat pada duka

tak bisakah kau pilih gradasi pada kecuranganmu?

ah, ternyata kanvas ini kurang lebar untuk melukiskan kepahitan


pati, 18 agustus 2010

mimpi bebek

Edit
mimpi bebek
by Yuliani Kumudaswari on Wednesday, August 18, 2010 at 8:13am

puisiku kemarin lahir menjelma anak bebek,

yang terus tumbuh terseret waktu, dan mimpi

kadang kejam tak pandang bulu, tak pandang muka

puisiku belajar terbang, lupa tak punya sayap,

belajar berjalan anggun bak angsa, lupa betapa gempalnya

ia oleh katakata tambun, belajar bersenandung bak murai,

lupa betapa sembernya ia ketika meleter, seringkali ia

mematut diri di depan cermin, bermimpi menjadi itik,

namun tak pernah menemukan jalan untuk memutihkan bulunya,

ah...mimpi memang tak tau diri, hari ini sang mimpi menunggangi

punggung puisiku hingga ia mulai belajar menyusun syair syair

tentang cinta, tentang rindu, tentang sunyi, tentang mimpi

sungguh kasihan puisi bebekku, terhisap masuk kolam mimpi

dan mulai berangan menjadi seekor ikan selagi ia tenggelam...



pati, 18 agustus 2010

limbo

ada sebuah kisah tentang sebuah negeri, yang namanya

disebut dari buyut hingga cicitnya, dalam cerita yang

sama dari jaman ke jaman, tentang pohon yang tumbuh

di jantungnya, berdahan lengan tungkai kokoh, berdaun

kehendak yang luruh silih berganti namun sayang berbuah

mimpi yang asam, kadang getir tak matang, bahkan bergetah

empedu yang pekat, sementara buah nan ranum hilang

tertiup angin yang membawanya ke antah berantah,

cerita tentang sungai yang mengalir dari hulu ke hilir ,

menguap di tengah atau menampung terlalu banyak

keluh derita, menenggelamkan muaranya,

cerita tentang burung unggas yang mematuk tunas

tunas yang baru tumbuh, memuntahkannya di daratan

limbo nan luas, tak bermata angin,

cerita tentang gunung yang menjulang di bawah

permukaan, menyimpan lahar kepahitan yang siap

dilontarkan setinggi pekik camar, yang menggemakan

nya pada lembahlembah berlorong gelap

dalam benakku aku merapal doa yang tergagap

gagap ku tujukkan pada langit : itu bukan negriku,

langit itu diam



pati, 17 agustus 2010

Selasa, 17 Agustus 2010

selamat merdeka!!

betapa mudahnya mengartikan kata 'merdeka' jaman revolusi

dulu, ketika setiap orang berdiri di bawah satu tujuan, satu bendera

merdeka dari penjajahan.

sekarang? begitu bnyak konsep merdeka, begitu individualistis,

begitu gender, begitu terkotak kotak, begitu bias dan biasa

ya, karena untuk hal hal paling hakiki pun, untuk hal hal paling

biasapun, kemedekaan itu harus susah payah ditegakkan

mari duduk sejenak dan kita berbincang secara imajiner :'apa arti merdeka bagimu?" :

nenek tua di persimpangan : merdeka adalah menutup mataku ketika Dia

memanggilku tanpa resah memikirkan makan anak cucuku

pak rusmin mang becak langganan : merdeka adalah mampu memenuhi

kebutuhan anak istri dengan hasil menarik becak seharian yang hanya

sekitar 30.000 rupiah saja

waria di salon depan : merdeka adalah ketika orangorang memaklumi

keberadaan kaumku dan melihat kami sebagai manusia

andi teman bermain si sulung : masuk sekolah lanjutan tanpa perlu pusing

uang pendaftaran, uang seragam an ongkos seharihari

anakku yang bungsu : merdeka adalah...horeeeee hari ini tak ada PR,

tak ada les, boleh main kembang api di lapangan mah?

anakku yang sulung : merdeka adalaj hak segala bangsa,..blablabla,..

(wow dia dibilang dukun IPS, karena nilai hapalan IPS nya selalu tinggi,

ah anakku sayang )

luni gadis berambut merah depan tumah : merdeka? hehe itu nama cafe

karaoke tempatku kerja, mbak (glek!!)

aku :...entahlah, sepertinya kebebasan untuk memperoleh hal

hal paling hakiki dalam hidupku, kebebasan menjalankan hidupku

suamiku : ssstt, itu rahasia, nanti malam kubisikkan di telingamu ^^

kau..: apa arti merdeka buatmu?

dan aku belum bertanya pada mbak jem tukang sayurku, pak rus

satpam kompleks, lik paijo tukang telur goreng langganan anakku,

mbak mun perancang baju dengan harga damai (25.000 rupiah saja per

baju), mpok mini tukang kerupuk keliling, nina anak tetangga yang

lahir dari keluarga berantakan, si jono yang berumur 8 tahun yang

tiap pagi, siang sore, menyapa di perempatan meminta sedekah, ugh

dan beriburibu orang di sana di luar rumah kita.

jadi apa arti merdeka ?



pati, 16 agustus 2010

yang tak pernah usai

/1/



lagilagi rancangan baju anak yang salah

sepasang baju monyet yang sedang naik daun

anakanak itu dipersulit wc umum

ketika dengan anggun hendak buang air kecil

mereka menatapku kini dengan wajah terkhianati

berdiri dengan ujung baju basah entah terkena kencing siapa



/2/



di lipatan surat kabar itu puisimu berserak

kubaca lambatlambat bait demi bait

hurufhurufnya berjatuhan ke pangkuanku

perasaanku sama seperti sore itu

ketika helaihelai bunga jambu memenuhi kepala dan gaunku

'apakah tanah yang memanggilmu luruh

ataukah hujan yang mengajarimu jatuh?'



/3/



maaf, belum kubaca emailmu

aku hanya lelah bertemu wajahwajah maya

dengan pesona perasaan yang terlihat nyata

katakata mulai bertumpang tindih

sebagian nyata sebagian maya

sebagian maya sebagian nyata

entah mana bertumpang mana

lalu peran malaikat dan beelzebub

mulai bersatir dalam tayangan berulang



/4/



matahari bergeser diamdiam tapi kabut tak juga pergi

di deretan bangkubangku kayu panjang itu

firman dan khalam tercurah meruah

menempel di kelepak jas, di keliman rok

di saku kemeja, di hak sepatu, di rumitnya jalinan sanggul

layaknya filmfil tua dalam gerak lambat

bajubaju itu dikibaskan dan digantung di balik pintu

hari berlanjut dalam setelan seharihari

bebas firman yang menempel



(pati, 16082010)

lelaki dan senja

seorang lelaki bersekutu dengan senja, entah apa

yang mereka perbincangkan, mereka serupa

kawan lama yang baru berjumpa, sepertinya

mereka sedang merancang strategi untuk

melipat malam hingga dapat bersua dan

bercengkarama dengan pagi nan cantik lebih

cepat, atau barangkali mereka justru sedang

meramu malam hingga dapat berjaga dan

bertahan lebih lama dan tak terusir pagi,

entahlah mana yang benar, namun lelaki itu

serupa kekasih yang mendekap senja bagai

belahan jiwanya, dan betapa wajah senja

luruh pada wajahnya dalam guratan guratan

yang dalam



pati, 14 agustus 2010

stasiun

aku bertemu denganmu di suatu perhentian kereta

lewat sebuah jendela buram tak bertirai

kucari kau ketika waktu semakin tua

namun bahkan bayangmu pun tak kutemui

rupanya

kau sebuah wajah di balik jendela

pada sebuah kota yang tak lagi tersinggahi

kereta ini melaju satu arah

pati, 14 agustus 2010

Jumat, 13 Agustus 2010

hari yang sederhana

kau bisa memilih menjadi ranting, menjadi daun,

menjadi bintang, menjadi batu, menjadi angin

atau apapun itu

namun berhentilah menjadi bayang

yang menghantui jalanku



kau bisa memilih berkata kata, dalam bahasa

yang kumengerti ataupun tidak, atau berteriak,

atau memaki, atau menjerit

atau apapun itu

namun berhentilah memamah sunyi

yang riuh di benakku



dan syair ini mulai menjadi candu

berkatakata pada bayangmu

bersajaksajak pada sunyimu

dan aku lelah

bisakah kau kembalikan hari sederhana

pada secangkir kopi dan selembar sore?



pati, 13 agustus 2010

jalan tak bernama

aku kagum melihatmu

gerbong tua yang terus melaju

tanpa masinis tanpa rel tanpa rambu

di atas jalan tak bernama

ah, mungkin bernama

hanya saja terlalu rancu di lidah



aku tak punya belati, kau tau

sama seperti seseorang bertanda di jidat itu

'wanitaku' itukah sebutannya?

kami hanya punya pisau kecil

mengiris seledri memotong bawang

lalu bertebaran di atas supmu

dan hari ini kami sepakat memakainya

mengiris kata demi kata

dan menaburnya di pusara rindu



ah cinta, ramuan gaib yang hadir seperti biasa

di taman, di langit, di jalan, di telepon

sesore kemarin dia ada di sakuku

terlipat seiring hari yang semakin tua

dan entah bagaimana hilang menguap



hari ini ketika melihatmu melaju

di atas jalan tak bernama

aku bertanyatanya

di persimpangan manakah kiranya

kau berhenti lalu memunguti

ramburambu yang kau cecerkan

barangkali akan kau temukan taburan

katakata yang telah kami iris setajam luka



pati, 13 agustus 2010

ungu

ungu

tak bisa kau pisahkan biru merah yang membentuk

kesejatian sebagaimana adanya ia

seperti tak bisa kau pisahkan

duka yang membebat erat jandajanda

atau keagungan sinar takhta sang raja

ungu

ada dalam lengkung akhir pelangi

bersatu dalam lebam lingkar matamu

membaur dalam misteri langit penghujung senja

dicinta dan dibenci

ungu

jika itu aku,

di ujung mana kau simpan?



pati, 13 agustus 2010

kupu kupu

sebuah kupukupu kertas menempel pada ranting kering

'ini buatmu, takkan menjadi ulat ia, takan layu,

jika hilang, hanyalah hilang...'

aku terpana pada pendar serupa kupukupu

yang berkeriap di sekeliling bola matamu

telaga bening yang menenggelamkan

mentari, rembulan dan bintang

dan melukiskannya di langit kelam mimpiku



pati, 12 agustus 2010

mengingatmu

siang yang tanggung untuk diam dan mengingatmu, awan itu

tepat menutup matahari, seperti sejumput kenangan yang

menutup hari dalam isak panjang, ataukah ini hanya

sekedar imbas badai api, sesaat sebelum matahari padam?

di depanku, kolam keruh meributkan daudaun teratai busuk,

menutupi permukaan mengaburkan kedangkalan, dan

seekor lele jumawa memancarkan kegagahannya dalam

seringai lebar sungut yang panjang

apa yang dirisaukan seekor burung gereja ketika

bertengger manis di tepi kolam itu?

benarbenar siang yang tanggung untuk diam

dan mengingatmu



pati, 11 agustus 2010

kepadamu hendak kutuliskan...

kepadamu hendak kutuliskan perjalanan sebentuk debu

debu yang tersangkut di ujung pundak bajumu

terlontar dan menari nari ia di pusaran sinar

ketika jemarimu menepiskannya...

sebentuk debu dalam ketakberdayaan

tersangkut lembut di puncak rambut seorang gadis

seorang gadis yang dengan setia berdiri dalam bayangmu

disisirnya rambutnya dengan sebentuk sisir kayu

terlemparlah sang debu dalam pusaran angin

angin kibasan rambut sang nona

sebentuk debu dalam kepasrahan

menempel di ujung sapu ijuk si mbok

si mbok yang setia mengibas debu keluar rumah

sebentuk debu melayang terbang jatuh di rerumputan

dalam ketakbergemingan disambutnya pinangan embun

yang meluruhkannya jatuh ke bumi

sebentuk debu kembali ke tempat dimana dia berasal

kepadamu hendak kutuliskan perjalanan diriku

yang entah mengapa aku merasa serupa sebentuk debu...



pati, 12 agustus 2010

Selasa, 10 Agustus 2010

puisiku tak memerlukan falsetto

aku hendak menggembalakan diriku
di padangpadang yang tak melirihkan kau
yang serupa bisu
ketika sebelumnya kau serupa falsetto riuh
tak kumengerti, sungguh
tak kan kusentuh sunyi yang kau pilih
sunyi yang mendekap riuhmu
mendekap diam
dan diam itu ada diantara kau dan aku
serupa dingin di padangpadang bisu

pati, 10 agustus 2010

peziarah terakhir

------kau

rimba yang menumpahkan hujan dikepalaku, di daundaun
gugur menyerupai tangis, membisikan katakata mesra malumalu
di ujungujung sinar yang enggan turun
-------
lautan yang menggiring camar memenuhi langitku, serupa
pasir yang berhasil ditunggangi resah, lembab basah
bertepian pesisir rindu yang meruah
-------
jalanan sunyi berkabut tak berujung, memanggul angin
sepanjang trotoar tak berambu, lengang , menyurutkan
langkah orang asing tak berarah
------
kini kau serupa nyeri tak bersumber yang enggan hilang
dari ujung lidah, memahkotai wajahku dengan lingkar
tahun serupa pemahat mengukir pada tempaannya ulir
tak menyerupa

dan aku serupa mati bagimu yang diserukan orang di
loronglorong, dan kau peziarah di baris terakhir
berkalungkan duka hitam

pati, 9 agustus 2010

secret admirer, kaukah itu ?

------untukmu nie


sepertinya aku terlalu rajin mencarimu
atau kau yang terlalu sering menampakkan diri
aku melihatmu di awan
aku melihatmu di hujan
aku melihatmu di kepak sayap
aku melihatmu di ranting patah
aku melihatmu di genangan air
maka aku akan belajar cara melipat puisi
menjadi kapal atau sekedar layangan
belajar menumbuhkan sayap di badan puisiku
belajar menjelma tunas tunas puisi
belajar melangkah bersama puisi yang mampu
bercermin dalam genangan, tak peduli
jika hal itu membuatnya kuyup

sepertinya aku harus mulai mencarimu
dalam gelap yang memenuhi kamar
karena puisiku mulai menjelma mimpi
mimpi yang rajin menjumpaimu

pati, 9 september 2010

abang, kita harus memasang bendera

abang,
kita harus kembali memasang bendera bang,
bendera yang telah lama kita lipat
dan kita simpan di sudut terdalam laci
itu tanda merdeka ya bang, jika kita kibarkan
dia di depan rumah pada sebilah bambu?
sementara muka muka kita tak lebih bak
bendera bendera lusuh, kalah, tanda menyerah

abang,
anak anak kampung sebelah fasih sekali
bermain semapur dari sobekan bendera partai
yang koyak dan tertiup angin
mereka belajar meneriakkan peluh bapak ibunya
yang diupah sepiring nasi jagung dan selembar
kertas utang yang tak pernah kosong
dengan kata kata tanpa suara
ah, bendera partai itu lebih gagah dari bendera kita
lihat bang, bendera kita terjepit di semarak warna itu

abang,
merah itu lambang darah ya bang, darahku, darahmu
yang senantiasa merah walau kita hanya makan nasi garam
apa karena daun singkong yang kita petik di pinggir kali
kata orang banyak vitaminnya ya bang?
tapi merah itu tanda berani bang, beranikah abang?
menyuarakan ketakadilan yang kita alami
tak mungkin kita kehilangan sesuatu lagi bang,
karena tiada yang kita miliki selain kemerdekaan membuka hari
ah, justru itu yang berharga ya bang
hanya maafkan aku bang, hatiku tak bisa putih
terlalu banyak empedu yang meracuninya

abang,
kita harus kembali memasang bendera bang,
di depan rumah kita pada sebilah bambu
barangkali....barangkali
kibarannya memancang mimpi
dalam merdeka kita, aku dan kau
sama sama memiliki negeri ini
hidup layak dalam naungan bundanya: ibu pertiwi

pati, 8 agustus 2010

ketika luka sesuatu yang biasa

Dan serentak angin diam
Suara menghilang
Sayup sayup deru mobil yang tertinggal
: aku pergi
Dan keheninganpun pecah
Jatuh berderai menghujam ribuan luka

Dan sama sepertiku, kau tercenung di situ
Sefamilier itukah kita pada luka?

(It's for u, who told me that something happened to him last night, please keep fight)

Semarang, 8 agustus 2010

hanyut

hanyut...
kelabilan
menghajar segala batas
ah, pretty depan rumah pegawai cafe
yang gerbangnya kini digembok
lebih pintar dari ini
tiga langkah ke depan, stop
tiga langkah ke samping, stop

hanyut...
sebuah rentang yang terhenti
hanya ketika tersangkut
ranting kering yang kau cokel paksa
mencuat melawan arus

hanyut...
memuara di sedimen gerusan waktu
terhisap jauh ke dasar, hilang
bagaimana bisa kau biarkan permukaan tetap tenang?

segala hal yang timbul tenggelam
yang senantiasa kita pandangi dari tepian
sungai hidup ini, adalah kau dan aku
hanyut...

pati, 6 agustus 2010

pekarangan tak biasanya nampak seindah ini

Boneka beruang lusuh, kembali ada di kaki meja. Kali ini kubiarkan.
Sudah berapa lama kau temani tidur anakku? Terlongong longong
di bangku berlumut, betapa gigihnya ilalang depan rumah, tak peduli
seribu kali dicabut, seribu kali pula dia tumbuh. Pagar yang setia, dan
serakan sandal sepanjang jalan masuk. Ah, kaki anakku telah panjang,
kakiku tenggelam di sandal kodoknya. Dimanakah mereka esok kelak?
Desis detik yang lewat menjadi suara bergemuruh, melaju dengan
gerbong kosong, aku muatannya yang terakhir. Sehelai daun jambu
kering jatuh ke pangkuan. Kubiarkan.Itu aku, anakku hijau berseri
di ujung ujung ranting. Dan seketika itu pekarangan nampak begitu
indah. Aku terima hari ini dulu.

pati, 5 agustus 2010

kau menikam punggungku

jika hari berwajah dan bertubuh
sepertinya aku sedang bergelantungan di ketiaknya
diantara wajah wajah masam, lirikan anyir, dan gumaman apak
dan kau
sudah cukup, tak usah kau tambahi, atau barangkali
aku sedang bergelantungan di sela giginya
menghitung sampah serapahmu yang dengan indahnya
kau sanjungkan lewat pujian
dan kau,
tak mengerti jugakah?
aku lebih memilih pukulanmu
sebab senyummu menikam punggungku
membuatku mati jauh di dalam

pati, 4 agustus 2010

untukmu

puisimu bagai sebuah surat terbuka untukku, aku hanya merasa
telah kehilangan sebuah amplop yang selalu kau jilat sisinya,
liurmu pengganti parfum yang katamu norak padahal itu selalu
berhasil dulu membeli sebuah hati perawan, aku membaca tanda
puisimu dan jeda diantaranya, kupikir kucoba jawab saja tanyamu
ya?
kau bertanya tentang buntelan beban yang selalu kubawa
dipunggungku, ah, kau salah, itu cuma bungkusan matahari,
rembulan dan bintangku sendiri yang enggan kupinjamkan
pada langit, takut mereka dibawa orang dan aku tak kebagian,
bukankah dibawah langit ini setiap orang harus saling berebut
dan mengklaim agar tak tersingkir?
kau bertanya tentang sakuku yang penuh warna, mengapa tidak?
semua warna telah hilang kau tau? pohon melahirkan daun hitam,
buah gelap berulat, langit kelabu berbeban sangat, dan cahaya yang
ada hanya putih menampilkan hitam, atau hitam menampilkan putih
kau bertanya tentang puisi puisi tuaku, ah biar saja, aku lelah
menjilati helai helainya biar bisa menempel, jadi kubiarkan saja
mereka dengan kebebasannya untuk berlari atau terbang sekalian,
adakah yang tersasar di mejamu?

"dan kedalaman apa yang selalu mereka ributkan?
sedang dasar tak pernah mengalas, tak terlihat
atau mataku sajakah yang telah tercuri lalat dan
menggantinya dengan mata faset?
pantas saja aku selalu membentur kaca jendela
aku tak pandai melihatnya"

pati, 4 agustus 2010

Rabu, 04 Agustus 2010

menu yang sama ketika kita lupa

ini hari rabu
aku lupa, kau lupa
dan kita biarkan bel alarm
menjerit jerit sampai muak sendiri
susu panas ditinggal tak tersentuh
mie kuah masih ngebul kini telah mekar
menu yang sama ketika lupa
membiarkan alarm sampai muak sendiri

ini hari rabu
aku lupa, kau lupa
kau lupa membeli pesananku
di hari minggu dua hari lalu
harian minggu yang selalu kuributkan
itu tiketku bukan? tiket sajak sajakku yang renta
serenta hasratku yang entah kemana
aku tau halamannya telah penuh tulisan
tapi siapa yang tau ada yang tak jadi mati hari ini
hingga sajakku bisa ditempel di bagian obituari

ini hari rabu
aku lupa, kau lupa
menutup pagar depan dan menguncinya
menu yang sama ketika kita lupa
pengamen itu mulai menyanyikan lagu alarm
yang sesubuh tadi kita biarkan menjerit
hingga muak sendiri

pati, 4 agustus 2010

serumpun serunai 3

11
rinai
mestikah menjelma derai
ketika pekatnya kabut
mewajahkan kalut?

12
bibit, bobot, bebet,
masihkah lekat
ketika lindapnya kata di ujung lidah
tak terpeta tingkah, laku dan tata?

13
menabur cinta bersama angin
benih tersebar sekehendak hati
lupa waktu panen yang datang serentak
lalu mana yang dituai, mana yang kau biarkan busuk?

14
pojok pojok rumah terabaikan tak tersapu
berdebu, menjaring laba laba
kubayangkan rindu yang bersarang di pojok hati
usang, sendiri menjaring candu

15
ku ziarahi puisiku
sendiri menikam sunyi
aku bertemu kau dalam nafas
puisiku yang tinggal satu satu

pati 2 agustus 2010

kuterima pinangan angin

kuterima pinangan angin
menjadi rahimnya melindapkan badai,
mencumbu ujung ujung daun, membisikkan nyanyian ranting,
menuntun tarian buih

kuterima pinangan angin
melahirkan kesejukan, meniti setiap hembusan nyanyian
padang sunyi, menggantungnya di pucuk pucuk cemara
dalam irama yang takkan kau pahami

kuterima pinangan angin
menjelma ketakkasatan yang nyata, meniupkan rindu
di tengkukmu, dalam denting buluh bambu yang tergantung
di sudut jendela jiwamu

kuterima pinangan angin
menjadi tangannya yang mendekapmu dalam hening

pati, 2 agustus 2010

selebihnya itu entah

aku teringat sebagian ucapmu, selebihnya entah
semata mata lidah patah melahirkan kata berbunga layu
menyisakan duri pada hati yang menjelma kawah nanah

aku teringat sebagian ucapmu, selebihnya entah
karena kadang sebuah benak berubah menjadi bengkel
mengasah, mempertajam, memermak kata jauh dari maknanya

aku teringat sebagian ucapmu, selebihnya entah
ternyata badai bukan hanya milik langit sebab kutemukan
pusaran beliung dalam diri mengkandaskan kerapuhan

pati, 1 agustus 2010

Minggu, 01 Agustus 2010

litani jarak

Lelaki itu masih saja menari
Tarian dwimuka
Mengiris ngiris kesadaran
Ah wahai mata bathin
Ada jarak yang subur ternyata
Bukan antara aku dan kau
Bukan kau dan dia
Bukan dia dan aku
Ah, antara aku dan 'aku'
Aku yang di depan dan aku yang dibelakang
Aku yang di muka dan aku yang di hati
Aku yang di luar dan aku yang jauh di dalam
Jarak wahai jarak
Dimanakah benihmu?
Aku si penuai yang selalu memanen
Apakah aku juga yang menanam?
Tarian itu masih ditarikan
Tarian dwimuka
Namun kali ini
Akulah sang penari

Pati, 1 agustus 2010

ketika langit tak berwarna

Ketika langit
Biru
Dikenakannya baju baju berwarna pelangi, ditaruhnya bintang di kedua matanya, diraihnya aroma embun ganti aroma badannya, disenderkannya mentari di sudut bibirnya, digelarnya karpet puja puji syukur di depan langkahnya

Ketika langit
Kelabu
Digulungnya kembali karpet karpet itu, di taruhnya di gudang jiwa menemani baju berwarna warni, dikenakannya baju hitam sepekat yang mampu dicelupnya dari empedunya yang tercemar, dilemparnya bintang bintang diganti tetesan tertajam hujan yang mendera sungai sungai di dataran pipinya, dipakainya maskara ungu lebam menghias rona wajahnya, aroma embun digantinya dengan aroma kabut duka pekat dan lekat

Ketika langit
Tak berwarna
Maka diapun menjelma serupa wayang
Dalam lakon yang paling absurd

Pati, 31 juli 2010

Jumat, 30 Juli 2010

lelaki dan sasadara

semalaman dipandanginya langit, tiada bosannya,
disesapnya berbatang rokok, dengan asap berbuntal
yang diupayakannya menbentuk kata hatinya : lingkaran
rindu, bentuk hati, atau hanya bentuk bentuk semrawut,
terkadang berjam jam di malam sunyi berdiri mendera angin,
'mengusir keringat' kilahmu, atau bak super hero kau tunggangi
dinginnya fajar berbekal kail dan joran tak tersentuh bengong
memandangi sang dewi malam kembali keperaduan, dan entah
bagaimana seharian romantisme mengalahkan sinisme dalam darahmu
'ah, kau cantik bagai dewi malam, mukamu sebulat rembulan,
alismu menyabit setengah rindu, wajahmu bersinar bak purnama'
atau ketika dasanama sang rembulan menghiasi syair sunyi
dinding dinding kamar : oh, kartika kekasihku, wahai badra nan ayu,
oh sitoresmi pujaanku, duh sasi pemilik hatiku
dan hari ini dengan berbinar, kau berdiri di depanku
'aku telah menikahi rembulan semalam'
tiba tiba langit hanya dipenuhi bintang

pati, 30 juli 2010

requiem kata

kita selalu saja berselisih kata, memang terlalu banyak jalan tikus,
bahkan pagar pun mereka lindas buat lalapan, padahal kata kata
kita tak pernah mengenal tanah, jadi tak pernah kita pendam,
tak pernah mengenal air, hingga hanyut ke hilir atau pinggir pinggir
sungai dan dikail orang orang iseng, tak mengenal angin hingga
terkait layang layang lewat, namun entah mengapa mereka dengan
fasih berkejaran memetakan jalur jalur pelariannya
kata kata kita menjadi serupa mayat, pucat, basi, dingin, kesepian,
dan menyarungkan kafannya sendiri : pengingkaran
aku hanya berharap mereka tak mengganggu kita kelak dengan
berubah menjadi vampir kata yang menyedot darah pengertian
dan menghempaskannya pada kesalahpamahan
ah, kita masih saja berselisih kata yang meluncur dalam kecepatan
angin menjadi ular berkepala dua, beracun dan sungguh berlibido
membenih akar akar pahit dengan waktu panen mendahului musim
sudah saatnya kita menanamkan patok ke jantungnya, dan biar
hati saja yang mengambil alih

pati 28 juli 2010

lukisan mata

di matamu kau lukiskan atap yang rubuh, tiang tiang
yang tersapu angin, tembok tembok yang tumbang,
dan sapuan debu sesudahnya, betapa kemudian debu
itu menjadi selimut menyesakkan di bawah langit, serpihan
kaca kaca jendela tumbuh menjamur menjadi bisul di
seluruh kulitmu, dan kaupun rebah, kalah, membatu
kulihat perlahan dian dian itu padam
aku ingin melukiskan langit di mataku
langit yang menurunkan hujan, menggumpalkan debu
menjadi tanah, dan mengelantangnya menjadi batu,
batu untuk kau jadikan tumpuan dan kau mencair
diatasnya, menegakkan kembali tiang tiang itu
namun
di matamu tak kulihat mataku

pati, 27 juli 2010

Selasa, 27 Juli 2010

mengapa kau sembunyi?

aku melihat luka ditubuhmu, menganga
meneriakkan tuhan yang katamu jauh
dan hanya dekat ketika kau panggil
namun kau merasa tak pernah memanggil
hingga dia menoleh karena katamu
'suaraku berlari larian serupa bisikan'
ah kau yang sungguh takut akan dosa
dan menyapa tuhan pada pagi
lukamu yang menganga
kembali menyerukan tuhan, sssst
sungguh Dia kah yang kau panggil?
lalu malam, lalu sunyi, lalu diam
dan memandang kubur
dalam kengerian yang sangat
(sungguh, kubur itu berpenunggu
itu membuatku jeri, katamu)
dan kaupun memandang peraduan
serupa tuhan bagi jiwamu

pati, 27 juli 2010

akan kutetapkan di hari ke 8 minggu ini, adakah?

aku senantiasa menyuruhnya bergegas
tetapi mimpi itu datang merayap
dan selalu saja tiba atau hilang
tak seperti rindunya yang menggigilkan hatiku
menetap mengancam ilusiku
maka aku menyuruhnya bergegas
tetapi mimpi itu senantiasa merayap
mendaki pelan pelan bukit keinginan
berhenti diujung hari
lalu tiba dan hilang
aku ini bagai si dungu
menghitung tiap keping kemungkinan yang sama
putuskan saja, katamu
biarkan mimpi itu tiba
atau relakan lenyap!
tiba tiba saja aku serasa menggenggam
sebilah pedang
siap mengharakiri : mimpi !

pati, 26 juli 2010

padamu, kurangkum setiap embun yang mampu kurangkum

pada sebuah bangku hijau
yang berderit jika tergeser sedikit
aku tergugu melihatmu
duh, anakku
aku tak mengenal lagu denting pianomu
kalian bernyanyi sendiri di jiwaku
nyanyian gemericik sungai
nyanyian tunas di padang padang

pada jendela sebuah auditorium
kutebar senyum pada dunia
lihat, itu anakku
musiknya berbinar di matanya
lagunya adalah dia.....anakku
dan aku menari nari memetik matahari

pada sepotong nada
telah melimpah ruah pelangi
apa yang lebih indah dari buah hati
di hati ibu yang rebah oleh bangga?

pati, 25 juli 2010

sebuah kota yang setia mengukir kenangan

entahlah, masa kecilku terhenti
pada ingatan sebuah rok coklat tua
berhias segitiga tapak setrika
yang lupa diangkat
bau gosong
menusuk
tetap sama

berapa lama kau bisa lupakan sebuah kota
tempatmu dibentuk hingga mampu memilih
untuk tetap atau meninggalkannya
gambar gambar masa lalu yang terekam
dinding dinding putih yang diam, yang pernah
dalam suatu kurun berangan angan mengajar anak anak
tetangga tak beralas kaki belajar membaca tulisan
yang digores di dinding itu dengan sebuah arang

ah, sebuah arang yang harus tetap membara
tak peduli lengan kecilmu lelah, matamu perih
oleh keringat yang meluncur turun, dan bau
asap yang tetap menempel di rambutmu walau telah
kau cuci dengan sampo bubuk sachet yang ibu
siapkan di kisi kisi kamar mandi
ayam bakar pesanan tetangga itu harus matang

kota itu telah berubah kini, barangkali karena
sekarang dia harus mengukir kenangan seseorang
yang lain, bukan aku
gang gangnya menyempit bagai gambar gorong gorong
dalam lukisan seorang anak TK yang menggambarkan
saluran pembuangan wc, menyesakkan, semenyesakkan
gambar sebuah rumah berdinding putih
yang memerangkap ketakutan seorang anak :
siapa yang akan menulis dengan arang di dinding itu
jika aku pergi?

pati, 24 juli 2010