harmony

harmony

Jumat, 20 Agustus 2010

sketsa kota pada hari yang kesekian

tibatiba saja hatiku bagai labu

menggembung antara penuh dan kosong

diamdiam berubah menjadi celengan

kalut memunguti jejakjejak tercecer



hari ke berapakah ini

sepertinya perjalanan belumlah jauh

lemak gandul masih menempel diujung lidah

dan aku masih mengamati duriduri bandeng yang hilang



dan detik jam selalu harus kita dekap

agar pohon jambu tertera di dalamnya

pagar biru

barisan pohon kapuk

ayunan bunga tebu

bahkan terik yang sigap menyambutku



dan padamu,...

senja di padang garam

kusemai benih hati labuku



pati, 20 agustus 2010

di cerita hujan kemarin

hujan baru saja reda

tanah becek masih menyimpan cerita

laronlaron yang tak pernah belajar

sibuk mencium bara lampu

satusatu sayap robek

satusatu jatuh mati

tiada keharusan kau menaruh haru

semua kembali ke aawal

hujan

tanah becek

laronlaron

lampulampu

mati



pati, 20 agustus 2010

ketika kau berdiri di situ

aku membangun belantara dalam benakku

dengan demikian kau peduli

bukankah dibutuhkan waktu lebih lama, buatmu

mengeja aku



aku membangun kanalkanal dalam hatiku

kubuat gerbang indah jalan masukmu

dengan demikian kau pahami

tak ada jalan keluar, buatmu

menihilkan aku



maka hatimu akan menjadi mahkamah

yang menimbang langkahlangkah

mengurai labirinlabirin, buatmu

menemukan aku



pati, 19 agustus 2010

pati

maaf, aku harus pulang

memang bukan menujumu

di nadimu aku tersesat

namun pulang pada dekapan

yang mengaliri rongga dan nadiku

serupa senja menuju pelukan malam



pati, 19 agustus 2010

yang melesat melebihi langkah

ada jarak yang kau tempuh

harapmu bahkan celahpun tak ada

lalu ketika kau berdiri di ambangnya

hendak apakah?



tergesa menyusuri jalan

harapmu hingga di titik penghujung

lalu ketika akhirnya sebuah persimpangan

hendak kemanakah?



mengapa hasrat bersayap elang

selalu membenturkan dirinya pada busur

berlari melesat di jalur bebas hambatan

selalu selaksa depa di muka langkah?



sepertinya...

karena pada bintang hasrat mematahari

pada bumi langkah ini terbenam surut



pati, 19 agustus 2010

salah jalan

adakah taburan debu kata hinggap di terasmu?

maaf, biarkan saja di tempatnya

sesore nanti akan kukumpulkan kembali

atau bisakah kau tunjukkan saja arahnya

dia mampu mencari arah pulang



pati, 18 agustus 2010

lukisan

mencoba meraup bayang rupa garam

ketika hari mulai terasa hambar

harapan serupa merpati membumbung jatuh karam

ketakadilan dipertontonkan serupa gambar



arsirannya kurang menutup borok

warnanya kurang cerah untuk luka

beri bayangan pekat pada duka

tak bisakah kau pilih gradasi pada kecuranganmu?

ah, ternyata kanvas ini kurang lebar untuk melukiskan kepahitan


pati, 18 agustus 2010

mimpi bebek

Edit
mimpi bebek
by Yuliani Kumudaswari on Wednesday, August 18, 2010 at 8:13am

puisiku kemarin lahir menjelma anak bebek,

yang terus tumbuh terseret waktu, dan mimpi

kadang kejam tak pandang bulu, tak pandang muka

puisiku belajar terbang, lupa tak punya sayap,

belajar berjalan anggun bak angsa, lupa betapa gempalnya

ia oleh katakata tambun, belajar bersenandung bak murai,

lupa betapa sembernya ia ketika meleter, seringkali ia

mematut diri di depan cermin, bermimpi menjadi itik,

namun tak pernah menemukan jalan untuk memutihkan bulunya,

ah...mimpi memang tak tau diri, hari ini sang mimpi menunggangi

punggung puisiku hingga ia mulai belajar menyusun syair syair

tentang cinta, tentang rindu, tentang sunyi, tentang mimpi

sungguh kasihan puisi bebekku, terhisap masuk kolam mimpi

dan mulai berangan menjadi seekor ikan selagi ia tenggelam...



pati, 18 agustus 2010

limbo

ada sebuah kisah tentang sebuah negeri, yang namanya

disebut dari buyut hingga cicitnya, dalam cerita yang

sama dari jaman ke jaman, tentang pohon yang tumbuh

di jantungnya, berdahan lengan tungkai kokoh, berdaun

kehendak yang luruh silih berganti namun sayang berbuah

mimpi yang asam, kadang getir tak matang, bahkan bergetah

empedu yang pekat, sementara buah nan ranum hilang

tertiup angin yang membawanya ke antah berantah,

cerita tentang sungai yang mengalir dari hulu ke hilir ,

menguap di tengah atau menampung terlalu banyak

keluh derita, menenggelamkan muaranya,

cerita tentang burung unggas yang mematuk tunas

tunas yang baru tumbuh, memuntahkannya di daratan

limbo nan luas, tak bermata angin,

cerita tentang gunung yang menjulang di bawah

permukaan, menyimpan lahar kepahitan yang siap

dilontarkan setinggi pekik camar, yang menggemakan

nya pada lembahlembah berlorong gelap

dalam benakku aku merapal doa yang tergagap

gagap ku tujukkan pada langit : itu bukan negriku,

langit itu diam



pati, 17 agustus 2010

Selasa, 17 Agustus 2010

selamat merdeka!!

betapa mudahnya mengartikan kata 'merdeka' jaman revolusi

dulu, ketika setiap orang berdiri di bawah satu tujuan, satu bendera

merdeka dari penjajahan.

sekarang? begitu bnyak konsep merdeka, begitu individualistis,

begitu gender, begitu terkotak kotak, begitu bias dan biasa

ya, karena untuk hal hal paling hakiki pun, untuk hal hal paling

biasapun, kemedekaan itu harus susah payah ditegakkan

mari duduk sejenak dan kita berbincang secara imajiner :'apa arti merdeka bagimu?" :

nenek tua di persimpangan : merdeka adalah menutup mataku ketika Dia

memanggilku tanpa resah memikirkan makan anak cucuku

pak rusmin mang becak langganan : merdeka adalah mampu memenuhi

kebutuhan anak istri dengan hasil menarik becak seharian yang hanya

sekitar 30.000 rupiah saja

waria di salon depan : merdeka adalah ketika orangorang memaklumi

keberadaan kaumku dan melihat kami sebagai manusia

andi teman bermain si sulung : masuk sekolah lanjutan tanpa perlu pusing

uang pendaftaran, uang seragam an ongkos seharihari

anakku yang bungsu : merdeka adalah...horeeeee hari ini tak ada PR,

tak ada les, boleh main kembang api di lapangan mah?

anakku yang sulung : merdeka adalaj hak segala bangsa,..blablabla,..

(wow dia dibilang dukun IPS, karena nilai hapalan IPS nya selalu tinggi,

ah anakku sayang )

luni gadis berambut merah depan tumah : merdeka? hehe itu nama cafe

karaoke tempatku kerja, mbak (glek!!)

aku :...entahlah, sepertinya kebebasan untuk memperoleh hal

hal paling hakiki dalam hidupku, kebebasan menjalankan hidupku

suamiku : ssstt, itu rahasia, nanti malam kubisikkan di telingamu ^^

kau..: apa arti merdeka buatmu?

dan aku belum bertanya pada mbak jem tukang sayurku, pak rus

satpam kompleks, lik paijo tukang telur goreng langganan anakku,

mbak mun perancang baju dengan harga damai (25.000 rupiah saja per

baju), mpok mini tukang kerupuk keliling, nina anak tetangga yang

lahir dari keluarga berantakan, si jono yang berumur 8 tahun yang

tiap pagi, siang sore, menyapa di perempatan meminta sedekah, ugh

dan beriburibu orang di sana di luar rumah kita.

jadi apa arti merdeka ?



pati, 16 agustus 2010

yang tak pernah usai

/1/



lagilagi rancangan baju anak yang salah

sepasang baju monyet yang sedang naik daun

anakanak itu dipersulit wc umum

ketika dengan anggun hendak buang air kecil

mereka menatapku kini dengan wajah terkhianati

berdiri dengan ujung baju basah entah terkena kencing siapa



/2/



di lipatan surat kabar itu puisimu berserak

kubaca lambatlambat bait demi bait

hurufhurufnya berjatuhan ke pangkuanku

perasaanku sama seperti sore itu

ketika helaihelai bunga jambu memenuhi kepala dan gaunku

'apakah tanah yang memanggilmu luruh

ataukah hujan yang mengajarimu jatuh?'



/3/



maaf, belum kubaca emailmu

aku hanya lelah bertemu wajahwajah maya

dengan pesona perasaan yang terlihat nyata

katakata mulai bertumpang tindih

sebagian nyata sebagian maya

sebagian maya sebagian nyata

entah mana bertumpang mana

lalu peran malaikat dan beelzebub

mulai bersatir dalam tayangan berulang



/4/



matahari bergeser diamdiam tapi kabut tak juga pergi

di deretan bangkubangku kayu panjang itu

firman dan khalam tercurah meruah

menempel di kelepak jas, di keliman rok

di saku kemeja, di hak sepatu, di rumitnya jalinan sanggul

layaknya filmfil tua dalam gerak lambat

bajubaju itu dikibaskan dan digantung di balik pintu

hari berlanjut dalam setelan seharihari

bebas firman yang menempel



(pati, 16082010)

lelaki dan senja

seorang lelaki bersekutu dengan senja, entah apa

yang mereka perbincangkan, mereka serupa

kawan lama yang baru berjumpa, sepertinya

mereka sedang merancang strategi untuk

melipat malam hingga dapat bersua dan

bercengkarama dengan pagi nan cantik lebih

cepat, atau barangkali mereka justru sedang

meramu malam hingga dapat berjaga dan

bertahan lebih lama dan tak terusir pagi,

entahlah mana yang benar, namun lelaki itu

serupa kekasih yang mendekap senja bagai

belahan jiwanya, dan betapa wajah senja

luruh pada wajahnya dalam guratan guratan

yang dalam



pati, 14 agustus 2010

stasiun

aku bertemu denganmu di suatu perhentian kereta

lewat sebuah jendela buram tak bertirai

kucari kau ketika waktu semakin tua

namun bahkan bayangmu pun tak kutemui

rupanya

kau sebuah wajah di balik jendela

pada sebuah kota yang tak lagi tersinggahi

kereta ini melaju satu arah

pati, 14 agustus 2010

Jumat, 13 Agustus 2010

hari yang sederhana

kau bisa memilih menjadi ranting, menjadi daun,

menjadi bintang, menjadi batu, menjadi angin

atau apapun itu

namun berhentilah menjadi bayang

yang menghantui jalanku



kau bisa memilih berkata kata, dalam bahasa

yang kumengerti ataupun tidak, atau berteriak,

atau memaki, atau menjerit

atau apapun itu

namun berhentilah memamah sunyi

yang riuh di benakku



dan syair ini mulai menjadi candu

berkatakata pada bayangmu

bersajaksajak pada sunyimu

dan aku lelah

bisakah kau kembalikan hari sederhana

pada secangkir kopi dan selembar sore?



pati, 13 agustus 2010

jalan tak bernama

aku kagum melihatmu

gerbong tua yang terus melaju

tanpa masinis tanpa rel tanpa rambu

di atas jalan tak bernama

ah, mungkin bernama

hanya saja terlalu rancu di lidah



aku tak punya belati, kau tau

sama seperti seseorang bertanda di jidat itu

'wanitaku' itukah sebutannya?

kami hanya punya pisau kecil

mengiris seledri memotong bawang

lalu bertebaran di atas supmu

dan hari ini kami sepakat memakainya

mengiris kata demi kata

dan menaburnya di pusara rindu



ah cinta, ramuan gaib yang hadir seperti biasa

di taman, di langit, di jalan, di telepon

sesore kemarin dia ada di sakuku

terlipat seiring hari yang semakin tua

dan entah bagaimana hilang menguap



hari ini ketika melihatmu melaju

di atas jalan tak bernama

aku bertanyatanya

di persimpangan manakah kiranya

kau berhenti lalu memunguti

ramburambu yang kau cecerkan

barangkali akan kau temukan taburan

katakata yang telah kami iris setajam luka



pati, 13 agustus 2010

ungu

ungu

tak bisa kau pisahkan biru merah yang membentuk

kesejatian sebagaimana adanya ia

seperti tak bisa kau pisahkan

duka yang membebat erat jandajanda

atau keagungan sinar takhta sang raja

ungu

ada dalam lengkung akhir pelangi

bersatu dalam lebam lingkar matamu

membaur dalam misteri langit penghujung senja

dicinta dan dibenci

ungu

jika itu aku,

di ujung mana kau simpan?



pati, 13 agustus 2010

kupu kupu

sebuah kupukupu kertas menempel pada ranting kering

'ini buatmu, takkan menjadi ulat ia, takan layu,

jika hilang, hanyalah hilang...'

aku terpana pada pendar serupa kupukupu

yang berkeriap di sekeliling bola matamu

telaga bening yang menenggelamkan

mentari, rembulan dan bintang

dan melukiskannya di langit kelam mimpiku



pati, 12 agustus 2010

mengingatmu

siang yang tanggung untuk diam dan mengingatmu, awan itu

tepat menutup matahari, seperti sejumput kenangan yang

menutup hari dalam isak panjang, ataukah ini hanya

sekedar imbas badai api, sesaat sebelum matahari padam?

di depanku, kolam keruh meributkan daudaun teratai busuk,

menutupi permukaan mengaburkan kedangkalan, dan

seekor lele jumawa memancarkan kegagahannya dalam

seringai lebar sungut yang panjang

apa yang dirisaukan seekor burung gereja ketika

bertengger manis di tepi kolam itu?

benarbenar siang yang tanggung untuk diam

dan mengingatmu



pati, 11 agustus 2010

kepadamu hendak kutuliskan...

kepadamu hendak kutuliskan perjalanan sebentuk debu

debu yang tersangkut di ujung pundak bajumu

terlontar dan menari nari ia di pusaran sinar

ketika jemarimu menepiskannya...

sebentuk debu dalam ketakberdayaan

tersangkut lembut di puncak rambut seorang gadis

seorang gadis yang dengan setia berdiri dalam bayangmu

disisirnya rambutnya dengan sebentuk sisir kayu

terlemparlah sang debu dalam pusaran angin

angin kibasan rambut sang nona

sebentuk debu dalam kepasrahan

menempel di ujung sapu ijuk si mbok

si mbok yang setia mengibas debu keluar rumah

sebentuk debu melayang terbang jatuh di rerumputan

dalam ketakbergemingan disambutnya pinangan embun

yang meluruhkannya jatuh ke bumi

sebentuk debu kembali ke tempat dimana dia berasal

kepadamu hendak kutuliskan perjalanan diriku

yang entah mengapa aku merasa serupa sebentuk debu...



pati, 12 agustus 2010

Selasa, 10 Agustus 2010

puisiku tak memerlukan falsetto

aku hendak menggembalakan diriku
di padangpadang yang tak melirihkan kau
yang serupa bisu
ketika sebelumnya kau serupa falsetto riuh
tak kumengerti, sungguh
tak kan kusentuh sunyi yang kau pilih
sunyi yang mendekap riuhmu
mendekap diam
dan diam itu ada diantara kau dan aku
serupa dingin di padangpadang bisu

pati, 10 agustus 2010

peziarah terakhir

------kau

rimba yang menumpahkan hujan dikepalaku, di daundaun
gugur menyerupai tangis, membisikan katakata mesra malumalu
di ujungujung sinar yang enggan turun
-------
lautan yang menggiring camar memenuhi langitku, serupa
pasir yang berhasil ditunggangi resah, lembab basah
bertepian pesisir rindu yang meruah
-------
jalanan sunyi berkabut tak berujung, memanggul angin
sepanjang trotoar tak berambu, lengang , menyurutkan
langkah orang asing tak berarah
------
kini kau serupa nyeri tak bersumber yang enggan hilang
dari ujung lidah, memahkotai wajahku dengan lingkar
tahun serupa pemahat mengukir pada tempaannya ulir
tak menyerupa

dan aku serupa mati bagimu yang diserukan orang di
loronglorong, dan kau peziarah di baris terakhir
berkalungkan duka hitam

pati, 9 agustus 2010

secret admirer, kaukah itu ?

------untukmu nie


sepertinya aku terlalu rajin mencarimu
atau kau yang terlalu sering menampakkan diri
aku melihatmu di awan
aku melihatmu di hujan
aku melihatmu di kepak sayap
aku melihatmu di ranting patah
aku melihatmu di genangan air
maka aku akan belajar cara melipat puisi
menjadi kapal atau sekedar layangan
belajar menumbuhkan sayap di badan puisiku
belajar menjelma tunas tunas puisi
belajar melangkah bersama puisi yang mampu
bercermin dalam genangan, tak peduli
jika hal itu membuatnya kuyup

sepertinya aku harus mulai mencarimu
dalam gelap yang memenuhi kamar
karena puisiku mulai menjelma mimpi
mimpi yang rajin menjumpaimu

pati, 9 september 2010

abang, kita harus memasang bendera

abang,
kita harus kembali memasang bendera bang,
bendera yang telah lama kita lipat
dan kita simpan di sudut terdalam laci
itu tanda merdeka ya bang, jika kita kibarkan
dia di depan rumah pada sebilah bambu?
sementara muka muka kita tak lebih bak
bendera bendera lusuh, kalah, tanda menyerah

abang,
anak anak kampung sebelah fasih sekali
bermain semapur dari sobekan bendera partai
yang koyak dan tertiup angin
mereka belajar meneriakkan peluh bapak ibunya
yang diupah sepiring nasi jagung dan selembar
kertas utang yang tak pernah kosong
dengan kata kata tanpa suara
ah, bendera partai itu lebih gagah dari bendera kita
lihat bang, bendera kita terjepit di semarak warna itu

abang,
merah itu lambang darah ya bang, darahku, darahmu
yang senantiasa merah walau kita hanya makan nasi garam
apa karena daun singkong yang kita petik di pinggir kali
kata orang banyak vitaminnya ya bang?
tapi merah itu tanda berani bang, beranikah abang?
menyuarakan ketakadilan yang kita alami
tak mungkin kita kehilangan sesuatu lagi bang,
karena tiada yang kita miliki selain kemerdekaan membuka hari
ah, justru itu yang berharga ya bang
hanya maafkan aku bang, hatiku tak bisa putih
terlalu banyak empedu yang meracuninya

abang,
kita harus kembali memasang bendera bang,
di depan rumah kita pada sebilah bambu
barangkali....barangkali
kibarannya memancang mimpi
dalam merdeka kita, aku dan kau
sama sama memiliki negeri ini
hidup layak dalam naungan bundanya: ibu pertiwi

pati, 8 agustus 2010

ketika luka sesuatu yang biasa

Dan serentak angin diam
Suara menghilang
Sayup sayup deru mobil yang tertinggal
: aku pergi
Dan keheninganpun pecah
Jatuh berderai menghujam ribuan luka

Dan sama sepertiku, kau tercenung di situ
Sefamilier itukah kita pada luka?

(It's for u, who told me that something happened to him last night, please keep fight)

Semarang, 8 agustus 2010

hanyut

hanyut...
kelabilan
menghajar segala batas
ah, pretty depan rumah pegawai cafe
yang gerbangnya kini digembok
lebih pintar dari ini
tiga langkah ke depan, stop
tiga langkah ke samping, stop

hanyut...
sebuah rentang yang terhenti
hanya ketika tersangkut
ranting kering yang kau cokel paksa
mencuat melawan arus

hanyut...
memuara di sedimen gerusan waktu
terhisap jauh ke dasar, hilang
bagaimana bisa kau biarkan permukaan tetap tenang?

segala hal yang timbul tenggelam
yang senantiasa kita pandangi dari tepian
sungai hidup ini, adalah kau dan aku
hanyut...

pati, 6 agustus 2010

pekarangan tak biasanya nampak seindah ini

Boneka beruang lusuh, kembali ada di kaki meja. Kali ini kubiarkan.
Sudah berapa lama kau temani tidur anakku? Terlongong longong
di bangku berlumut, betapa gigihnya ilalang depan rumah, tak peduli
seribu kali dicabut, seribu kali pula dia tumbuh. Pagar yang setia, dan
serakan sandal sepanjang jalan masuk. Ah, kaki anakku telah panjang,
kakiku tenggelam di sandal kodoknya. Dimanakah mereka esok kelak?
Desis detik yang lewat menjadi suara bergemuruh, melaju dengan
gerbong kosong, aku muatannya yang terakhir. Sehelai daun jambu
kering jatuh ke pangkuan. Kubiarkan.Itu aku, anakku hijau berseri
di ujung ujung ranting. Dan seketika itu pekarangan nampak begitu
indah. Aku terima hari ini dulu.

pati, 5 agustus 2010

kau menikam punggungku

jika hari berwajah dan bertubuh
sepertinya aku sedang bergelantungan di ketiaknya
diantara wajah wajah masam, lirikan anyir, dan gumaman apak
dan kau
sudah cukup, tak usah kau tambahi, atau barangkali
aku sedang bergelantungan di sela giginya
menghitung sampah serapahmu yang dengan indahnya
kau sanjungkan lewat pujian
dan kau,
tak mengerti jugakah?
aku lebih memilih pukulanmu
sebab senyummu menikam punggungku
membuatku mati jauh di dalam

pati, 4 agustus 2010

untukmu

puisimu bagai sebuah surat terbuka untukku, aku hanya merasa
telah kehilangan sebuah amplop yang selalu kau jilat sisinya,
liurmu pengganti parfum yang katamu norak padahal itu selalu
berhasil dulu membeli sebuah hati perawan, aku membaca tanda
puisimu dan jeda diantaranya, kupikir kucoba jawab saja tanyamu
ya?
kau bertanya tentang buntelan beban yang selalu kubawa
dipunggungku, ah, kau salah, itu cuma bungkusan matahari,
rembulan dan bintangku sendiri yang enggan kupinjamkan
pada langit, takut mereka dibawa orang dan aku tak kebagian,
bukankah dibawah langit ini setiap orang harus saling berebut
dan mengklaim agar tak tersingkir?
kau bertanya tentang sakuku yang penuh warna, mengapa tidak?
semua warna telah hilang kau tau? pohon melahirkan daun hitam,
buah gelap berulat, langit kelabu berbeban sangat, dan cahaya yang
ada hanya putih menampilkan hitam, atau hitam menampilkan putih
kau bertanya tentang puisi puisi tuaku, ah biar saja, aku lelah
menjilati helai helainya biar bisa menempel, jadi kubiarkan saja
mereka dengan kebebasannya untuk berlari atau terbang sekalian,
adakah yang tersasar di mejamu?

"dan kedalaman apa yang selalu mereka ributkan?
sedang dasar tak pernah mengalas, tak terlihat
atau mataku sajakah yang telah tercuri lalat dan
menggantinya dengan mata faset?
pantas saja aku selalu membentur kaca jendela
aku tak pandai melihatnya"

pati, 4 agustus 2010

Rabu, 04 Agustus 2010

menu yang sama ketika kita lupa

ini hari rabu
aku lupa, kau lupa
dan kita biarkan bel alarm
menjerit jerit sampai muak sendiri
susu panas ditinggal tak tersentuh
mie kuah masih ngebul kini telah mekar
menu yang sama ketika lupa
membiarkan alarm sampai muak sendiri

ini hari rabu
aku lupa, kau lupa
kau lupa membeli pesananku
di hari minggu dua hari lalu
harian minggu yang selalu kuributkan
itu tiketku bukan? tiket sajak sajakku yang renta
serenta hasratku yang entah kemana
aku tau halamannya telah penuh tulisan
tapi siapa yang tau ada yang tak jadi mati hari ini
hingga sajakku bisa ditempel di bagian obituari

ini hari rabu
aku lupa, kau lupa
menutup pagar depan dan menguncinya
menu yang sama ketika kita lupa
pengamen itu mulai menyanyikan lagu alarm
yang sesubuh tadi kita biarkan menjerit
hingga muak sendiri

pati, 4 agustus 2010

serumpun serunai 3

11
rinai
mestikah menjelma derai
ketika pekatnya kabut
mewajahkan kalut?

12
bibit, bobot, bebet,
masihkah lekat
ketika lindapnya kata di ujung lidah
tak terpeta tingkah, laku dan tata?

13
menabur cinta bersama angin
benih tersebar sekehendak hati
lupa waktu panen yang datang serentak
lalu mana yang dituai, mana yang kau biarkan busuk?

14
pojok pojok rumah terabaikan tak tersapu
berdebu, menjaring laba laba
kubayangkan rindu yang bersarang di pojok hati
usang, sendiri menjaring candu

15
ku ziarahi puisiku
sendiri menikam sunyi
aku bertemu kau dalam nafas
puisiku yang tinggal satu satu

pati 2 agustus 2010

kuterima pinangan angin

kuterima pinangan angin
menjadi rahimnya melindapkan badai,
mencumbu ujung ujung daun, membisikkan nyanyian ranting,
menuntun tarian buih

kuterima pinangan angin
melahirkan kesejukan, meniti setiap hembusan nyanyian
padang sunyi, menggantungnya di pucuk pucuk cemara
dalam irama yang takkan kau pahami

kuterima pinangan angin
menjelma ketakkasatan yang nyata, meniupkan rindu
di tengkukmu, dalam denting buluh bambu yang tergantung
di sudut jendela jiwamu

kuterima pinangan angin
menjadi tangannya yang mendekapmu dalam hening

pati, 2 agustus 2010

selebihnya itu entah

aku teringat sebagian ucapmu, selebihnya entah
semata mata lidah patah melahirkan kata berbunga layu
menyisakan duri pada hati yang menjelma kawah nanah

aku teringat sebagian ucapmu, selebihnya entah
karena kadang sebuah benak berubah menjadi bengkel
mengasah, mempertajam, memermak kata jauh dari maknanya

aku teringat sebagian ucapmu, selebihnya entah
ternyata badai bukan hanya milik langit sebab kutemukan
pusaran beliung dalam diri mengkandaskan kerapuhan

pati, 1 agustus 2010

Minggu, 01 Agustus 2010

litani jarak

Lelaki itu masih saja menari
Tarian dwimuka
Mengiris ngiris kesadaran
Ah wahai mata bathin
Ada jarak yang subur ternyata
Bukan antara aku dan kau
Bukan kau dan dia
Bukan dia dan aku
Ah, antara aku dan 'aku'
Aku yang di depan dan aku yang dibelakang
Aku yang di muka dan aku yang di hati
Aku yang di luar dan aku yang jauh di dalam
Jarak wahai jarak
Dimanakah benihmu?
Aku si penuai yang selalu memanen
Apakah aku juga yang menanam?
Tarian itu masih ditarikan
Tarian dwimuka
Namun kali ini
Akulah sang penari

Pati, 1 agustus 2010

ketika langit tak berwarna

Ketika langit
Biru
Dikenakannya baju baju berwarna pelangi, ditaruhnya bintang di kedua matanya, diraihnya aroma embun ganti aroma badannya, disenderkannya mentari di sudut bibirnya, digelarnya karpet puja puji syukur di depan langkahnya

Ketika langit
Kelabu
Digulungnya kembali karpet karpet itu, di taruhnya di gudang jiwa menemani baju berwarna warni, dikenakannya baju hitam sepekat yang mampu dicelupnya dari empedunya yang tercemar, dilemparnya bintang bintang diganti tetesan tertajam hujan yang mendera sungai sungai di dataran pipinya, dipakainya maskara ungu lebam menghias rona wajahnya, aroma embun digantinya dengan aroma kabut duka pekat dan lekat

Ketika langit
Tak berwarna
Maka diapun menjelma serupa wayang
Dalam lakon yang paling absurd

Pati, 31 juli 2010