harmony

harmony

Selasa, 28 September 2010

sajak tak berjejak

kita hanya patung keras kepala

memahat sajak sajak

mencari kata kata

terjebak kamus

ah biar saja, lalu katamu

itu sajak patung



orang orang mencari jejak patung

'oh patung ini berhasil menjadi dirinya

tak ada jejak yang kami temukan!'

kita kemudian ramai menjelaskan

diam itu jejak

berupaya mencintai adanya

jadi jejak itu cinta

dan kita menjadi patung yang bahagia

memahat sajak sajak cinta yang diam



orang orang mulai membuat

perahu dari sajak

mengapung di air tenang dan bergelombang

pakaian dari sajak

menutup diri serapat yang terbungkus

pagar pagar dari sajak

membenteng semak semak duri

layang layang dari sajak

membalas sapaan angin dan matahari

bendera dari sajak

berkibar menyerukan cinta dan kesunyian



dan kita kembali menjelma patung keras kepala

membuat sajak sajak cinta

yang setia pada diam

tenggelam

koyak

putus

hilang



pati, 28 september 2010

panggung

sebagian kota bersiap tidur
sebagian bersolek
menyisir tubuh
sebagian memecah batu
menyusun keringat
lampu lampu jalan
jauh dan setia
bagai cahaya panggung
tak peduli lakon yang berlangsung
ada sesuatu yang ganjil
karena aku bagian latar

pati, 27 september 2010

sajak hitam

dari balik jendela
semua terlihat sama
langit hitam
daun daun hitam
tanah hitam
batu hitam
barangkali hitam itu
lekat di kaca jendela
rakus memakan semua cahaya

kujauhi jendela
seiring malam yang jauh

pati, 26 september 2010

di bawah mendung yang pecah

Langit september, murung, dan tiba tiba pecah berderai derai, memukul kaca jendela, tetesannya berlomba mencapai ambang jendela

Paitua, di luar tak ada penjaja payung sewaan, tak ada taksi dan motorku tak beratap, hanya langit yang murung dan pecah

Hujan sedang terjun bebas rupanya, dentumnya memukul seng seng dapur, jadi teringat film film perang, di salah satu adegannya mereka menggigil berperang di tengah hujan bukan?

Sungguh, sepertinya aku harus melajukan motorku, tak di bawah payung, hanya langit mendung yang pecah

pati, 26 september 2010

Sabtu, 25 September 2010

kredo september

lengan september seperti mengibasku : 'pergi sana, jalan sendiri' duh, aku kelimpungan, jadi kusambar saja ujung bajunya, 'temani aku, temani aku' tak pernah aku semalu ini mendengar rengekanku sendiri

oktober, sang saudara tua, selintas memunculkan wajahnya, aku lupa entah dia tersenyum, entah melengos, hanya kudengar desisnya :'adik kecil, adik kecil, dimana keliman rok rokmu tempat kau sembunyi?' dan sedih itu membenamkan senyumku sendiri : telah lama bukan aku tak ber-rok?

lalu kumpulan hari yang kulupa namanya, menepuk bahuku dengan keramahan yang bisa mereka tawarkan: 'sudahlah, melebur saja dengan kami' dan aku berlari lari meminta seseorang membuatkanku sepotong rok tempatku sembunyi

pati, 25 september 2010

sajak hati

Hati,

pelimbahan,

ungunya duka
birunya rindu
kelamnya sakit
merahnya angkara,

lalu,

dimana sang umbul?

pati, 25 september 2010

ketika cahaya itu padam

Ada wilayah tak berambu, selapis demi selapis mengirismu. Tak ada yang bisa bedakan kau dan udara tipis, menggantung sama sama rendah. Sebenarnya, apa yang mereka tanam di dadanya? Bintang matikah atau hanya lubang hitam

Ada wilayah tak berdenah, kau bisa petik bintang di pinggir kali, atau membuangnya di sumur terdekat yang kau jumpai.
Betapa kelam mata mata itu, mati. Jangankan hati, kadang kupikir betapa ratanya wajah mereka, tak berhidung, tak bertelinga, hanya dua rongga gelap, tak berdasar.

Kulihat betapa matahari mencacah kulitnya, membenamkannya dalam ilusi dunia tak berneraka.

pati, 24 september 2010

Jumat, 24 September 2010

kepadamu

ijinkan aku undur
diam
lindap

tolong,
biarkan hari
menggulung sunyi
melipat murung
sejenak saja

: lalu senja turun
hari ini tersudahi
terlupa
lindap
(dan kami sibuk berbagi tempat)

pati, 23 september 2010

sajak pintu

sebuah pintu
tercipta
dibuka
dan ditutup

apakah hati
sebuah pintu?

pati, 22 september 2010

pekarangan ketika hujan

daun daun jambu basah
menggigil
galau

seseorang sibuk memindahkan jemuran
mengeringkannya dalam pikiran
: esok, biarlah tetap esok

daun daun itu belajar luruh
bersama tetesan hujan
menyambut tanah

dalam hujan
pintu pagar merana
tak ada yang membuka
tak ada yang menutup

pati, 22 september 2010

suatu pagi ketika cahaya membangunkan hujan dalam diriku

pada pagi ketika langit terbuka, dan cahaya baru saja didirikan, ada yang memunguti bintang yang kukumpulkan satu satu, lalu sebagian pergi bersama kunang kunang, di luar suara suara riuh dikepakan, namun entah mengapa, merasuk dalam jiwaku menjadi kesunyian yang terasing
kekasihku, bilakah kesenyapan ini berlalu?
aku hanya rindu memunguti serpihan hari
yang terbiasa kau panggul di punggungmu

pati, 21 september 2010

Kamis, 23 September 2010

generasi warisan

dulu anak anak mudah menggambar bumi
kini mereka bertanya kepadaku,
bagaimana bulat itu diantara kotak
sudut lingkaran kecil dan garis batas?

dulu anak anak pintar mewarnai bumi
sekarang aku bertanya bingung,
mengapa kau gambar langit hitam
daun coklat gunung merah
lalu sisanya hanya abu mengelabu

dulu mereka pintar di bumi
tapi sekarang konon mereka bodoh
karena tak pandai menggambar bumi
karena tak pandai mewarnai
bukankah lantaran kita mereka tersedak pasal pasal itu?
jadi mari berperkara karena terlalu bodoh
mewariskan kebodohan

pati, 19 september 2010

nalar yang menjalar

kupikir, kesedihan bagai sulur merayap
menjerat kaki dan membuatmu terjerembab
kau pintal nafasmu satu satu
namun satu satu paru parumu hilang
cerita terpantul di awan
terburai melekat pada debu di ujung sepatumu
ada batas sedihmu di sana
siapa yang menyangka langkah itu sampai juga disini?
terkadang kesedihan juga bagai lintah gemuk
menempel erat pada lubuk yang menyulap dadaku
menjadi rahim debur isak
bergelombang membuatmu oleng
sungguh, tak bisakah perlahan saja
aku telah terkapar hampir rubuh

pati, 19 september 2010

rebah

jalan daendels itu terbentang lebar
lengang dan rebah tersambit angin
tiba tiba aku ingin menggambar jendela dan pintu
berjajar terbuka di sisi sisinya
tempatku lari ketika jalanan ini mulai menelanku

angin memecah mecah cintanya untukku
'teduhlah, teduh jika itu yang kau mau' katanya
yang berdendang di kupingku malah pekerja rodi
seperti aku yang tertelan jalan daendels

pati, 20 september 2010

koin

sebuah kota tua
yang sepertinya terlalu tua mengejar ketinggalan
anak bertelanjang dengan lagu yang sama
'lemparkan koinnya kakak
lemparkan koinnya ibu'
tahukah dia perlu 8 koin
untuk segelas teh hangat?
ah, kota tua yang hangat

Medan, 18 september 2010

aku memahamimu

sekiranya gelap menyaru malam
mengendap endap menyusup lubuk
biarlah mata api membakarnya menjadi abu
hingga serapah badai dalam petir dan gelombang
tiada melibas menjadi asap
kusesap sumpahmu
hingga nadir
dalam pasrah kubiarkan alam membacaku

p.siantar, 17 september 2010

Selasa, 21 September 2010

benak

kuajak bermain main
menjadi sebuah surat, syair puisi yang karam
menggelinding di antara aku dan kau
menciut menjadi kertas usang

Kuajak menyerupa
kecubung yang tak lelah terbalik
embun yang enggan jatuh
kupu kupu vampir yang menghisap
habis sukmaku

Tiba tiba berjatuhan ke dasar wajan
beraroma petai dan durian
kusaring dalam gelas
“istirahatlah jika lelah”
tetapi teganya ia
mengambil posisi di antara bibir
setelah sebelumnya
bersemayam di dengkul

p.siantar, 17 september 2010

tentang saat ini

..........: paituaku

melintasi meja makan
anak anak kunci berserak
di atas baki biru
hinggap di mataku

anak kunci pintu depan
anak kunci kamar
anak kunci gerbang

ada jarak dari ruang ke ruang
kekosongan yang beranak pinak
kumengerti, sangat

pernahkah terpikir
ada saat kita menikahi puisi?

p.siantar, 17 september 2010

bola lampu

Ibuku sedih, mencari cari bola lampu,
lupa, kami telah menggorengnya kemarin
kini berkelontangan dalam perut

Sepertinya ibu mulai ingat, atau barangkali kelontangan itu menyengat kening ibu
menumbuhkan uban di rambutnya
melukiskan keriput tertelan dalam senyumnya
lantaran itukah nadinya menciut?

Ibuku terbaring di sudut, tak mampu bergerak
namun kelontangan itu sepertinya masih terdengar
mulut ibu menggumamkan kidung
yang selalu berhasil membuat kami terlelap
dulu
kelontangan tak mau senyap

Ibu tak lagi mencari bola lampu,
Tuhan menyiapkan lampu darurat di rumahNya
aku harus tetap mencari
di tengah kelontangan

p.siantar, 17 september 2010

kelak

Tak jenuh jenuh aku berpikir

'kemana arah pulang?'

di lorong kerongkonganku, sarapan pagi menusuk amandel



Adalah hidup,

membenihkan hasrat

mematahkan mimpi

memenjarakan kenangan

membangunkan hantu



Demi cinta

kuhela hujan dari pintuku

membawa matahari di meja makan

panasnya membakar bulu mata

mencipta celah bagi banjir

hujan yang terusir



Telah kusiapkan bahtera, kekasihku

atas nama cinta

menujumu

kelak



p.siantar, 16 september 2010

Rabu, 15 September 2010

doa pada jalan yang bercabang

Di depanku jalan bercabang

aku jeri

karena lelakiku tertinggal di belakang

dengan hatiku di ujung jari



Pada siantar

kuhantar doa doaku

laksana kekasih

biarlah kita bertemu



Dan ular ular yang merayap di hatiku

yang geliat ekornya menutup pandangku

yang melata menggetarkan bibirku

denganketeguhan kuremukkan kepalanya



Dengan hati sejajar tanah

aku berseru pada Tuhan

(Tuhan yang menggenapkan aku dan lelakiku)

biarlah terjadi kembali

hari penggenapan itu



p.siantar, 15 september 2010

panen

di sebuah sudut ladang sunyi, sekelompok pohon jagung meratap

bertanya akan diri yang mengering terbengkalai

pada setiap ketiaknya, mencuat bonggol jagung

kering, kuning, sekeras batu yang berserak tak jauh dari situ

bonggol menengadah pada langit ketika matahari bersinggasana

'kuning mana aku dibanding kau?'

matahari diam, lalu disapanya tanah

'ah, kering mana aku dibanding kau?'

tanah diam, lalu ditanyanya angin

'terlupakan mana aku dibanding kau?'

angin diam dan hanya berlalu

bonggol jagung memulai kembali ritualnya

pada matahari, pada tanah, pada angin

dan diam tetap ritual balasan



di sebuah pondok papan lapuk

seorang lelaki menyerah pada kesunyian

ternyata diri hanyalah daging

yang sanggup berpuasa dalam rentang waktu

ditunggunya selama ini

jagung jagung menguning yang menghiasi periuknya

dengan garam pada pagi, dengan garam pada siang

jika tahan, dengan garam pada malam

lalu hari ini ketika bonggol bonggol itu siap di panen

lelaki itu telah dipanen sang maut terlebih dahulu

dan matahari, dan tanah, dan angin

tak tahu cara apa hendak mengabarkannya



p.siantar, 15 september 2010

ketika persahabatan sekeping cookies

ketika kutawarkan diriku

menjadi tepung, menjadi mentega, menjadi telur

dalam takaran seimbang

ternyata tak bisa

karena yang dibutuhkan tinggallah :

gula yang harus selalu manis

sejumput pernak pernik hiasan

kau tinggal menjadi sukade, kismis atau keping coklat

atau ada sejumput lain yang diperlukan : perisa

mana yang kau pilih serupa buah, bunga?

selama beraroma manis, katanya

duh

biarlah jika demikian

sesaat saja biarkan aku menjadi seorang penikmat

cookies buatanmu yang tersaji dalam piring keramik



p.siantar 15 september 2010

tentang arah jalan pulang

tunggulah esok, waktuku terbang

sejajar awan, lurus menuju bungabunga tebu

meninggalkan barisan sawit

tegak, berbukubuku lingkar tahun

tiupkan doa untukku sayang

selagi langit masih luas menampung

dan tolong tandai kotaku

dengan pita ungu rindu

lalu tuliskan untukku

:' diantara celahcelah pelepah sawit

aku diam menunggu'

tenunlah hari sayangku,

bersama benang masa lalu dan nanti

hingga kau mampu berdiri di kini



P.



p.siantar , 14 september 2010

inang itu menyerupai indung

inanginang berjalan kaki

di sepanjang jalan menuju Meranti

tak menghitung terjal yang harus didaki

sedang tempayan air disangga leherleher rapuh

bukan pada kereta yang dikayuh



maka ketika aku menempatkan diriku

gegap menanti penjual sayur yang tak lalu

mereka menamparku dengan jitu

aih...aih..., katanya gembira

hari ini indah, eda



(aku teringat waktu asali

apakah indung meyerupa itu

gembira menggembalakan dukanya?)




p.siantar 14 september 2010

Selasa, 14 September 2010

runcing

kerinduan menelanjangi diri

meruncing pada tiap helai gaun

berjejer di tiang jemuran

meminta angin, memohon mentari

dan hujan mengajarkan mendua hati

dalam pesona yang tak pernah termengerti



waktu tersenyum

telah usai, katanya

kunjunganmu pada kerinduan yang senyap



aku berkhayal kapsul waktu

yang saban hari bisa kutunggangi

melipat lipat luas angkasa dalam dompet

seperti karcis waktu berkunjung

: berjagalah di loket, sayangku



waktu terbahak

telah usai, katanya

waktunya terjaga



p.siantar 14 september 2010

suatu ketika

Dan di toba kami mengukir waktu
Memahatnya dalam alur paling kerap
Biarlah melimpah yang terekam
'Kami ada bersama waktu
Yang kau ukir tak sedalam
Ukiran rupa kami pada tebing tebing'

Tongging, 11 september 2010

Sabtu, 11 September 2010

laguboti

Nak,
Hendak kubisikkan di telingamu
kisah pada sebuah pohon kehidupan
Ada nama nama tercantum dari akar hingga ke ujung daunnya
Ada namamu di situ
Dan di sinilah akar itu bermula
Laguboti...laguboti
Di jantungnya tersimpan pandora kenangan
Opung opung doli pada tugu tugu batu
Menunggumu, nak
Menuliskan namaku
Pada batu yang kau pahat kelak

Laguboti, 10 september 2010

tentang waktu yang membeku menurutmu

jeritan beribu klakson membangunkan kota

'hai..ini sebuah hari baru' sebuah ironi ketika

kau membeku didalamnya, waktu berjalan

mundur dalam irama yang hanya dimengerti

seekor semut, bukan aku

sebuah halaman, sebuah pagar, tanpa

pohon jambu, tanpa serakan sandal,

dan aku yang berbagi pagi denganmu

pagi yang sama, benarkah?

siang yang sama, benarkah?

betapa 'senja yang sama' sebuah frase

kerinduan yang kuharap kau mengerti

sayangku,

menulis buatmu adalah sebuah jarak

adalah tentang sesuatu yang hilang

tentang pagi dibawah langit yang sama

dalam rentang jarak dan waktu yang hilang



p.siantar, 9 september 2010

...dan BSA pun meriuh pergi...

Martoba
Parluasan
Horas
Ah tidak bang,
Aku pulang ke rumah saja

P.siantar, 8 agustus 2010

terasing

kupilih jalan sunyi

jika dengan begitu kumiliki hatiku

namun, ...dimanakah engkau?

kupilih jalan sunyi

jika dalam diamku mampu kuhadapi diriku

entah kau ada atau tidak

kupilih jalan sunyi

walau sunyi membunuhku



p. siantar, 8 september 2010

Rabu, 08 September 2010

ada cerita

ada puisi kelabu
pada cerita hujan
'kulukiskan rinduku di pelangi
namun mentari tak memunculkannya'
ada puisi kelabu
di cerita awan
'kukandung setiap butir debu
amarah sinabung yang terlupa'
ketika tiada biru di langit
tak kau temukan hijau di dedaunan
bahkan tiada kilau mentari di bola mata itu
hendak kau taruh dimanakah binar senyummu?
maka ada puisi kelabu
di cerita...mu

p.siantar, 7 agustus 2010

inang, sejenak kusinggah

mari, kuantar kau ke siantar
selagi langit menggulung layarnya
dan cerita awan menampilkan benakmu
itukah sebabnya kulihat engkau
dikumpulan awan bak biri biri
dikepak bentangan pesut terbang
juga di kumpulan belantara awan murung
yang mengusir cerita awan lucuku pergi
mari kuantar kau ke siantar
pada deru cator jaman kompeni
yang menyerukan rindumu
'eda...eda..., kau lihatkah itomu disitu?'

pematang siantar, 6 september 2010

bukan kisah pengantar tidur

(...sebatang bunga bertunas, mekar, mewangi...)

aku memandangmu seakan kau bagian diriku, bahkan aku mengenalmu melebihi pengenalanku akan angin, awan dan hujan sekalipun. aku melebihi siang bagimu, karena adaku bagimu tak paruh waktu, namun kekasihku, laksana lembab memerlukan embun, hangat memerlukan mentari dan hujan memerlukan rintik, adaku perlu adamu

(...dan duri muncul di sepanjang batang, tajam, beracun...)

ah kekasihku sepertinya ternyata aku tak mengenalmu, karena lebih mudah membaca angin, kabut, dan hujan sekalipun. tak bisakah kau sebening buku yang terbuka? ucapmu tak kupahami, aku terluka ketika kau menjelma malam, bayang, dan buih yang hilang

(...maka bungapun layu, mati...)

kau hilang...
aku ...entah
karena semesta tak bisa membacaku

pati, 2 agustus 2010

luruh

Seorang lelaki tua duduk mencangkung di perahu kayunya yang kecil. Lamat lamat

terdengar suaranya lirih mengalun jauh...

"Kakek, apakah perahu kita hendak menuju rumah matahari?"

"He..he..he.., entahlah cucuku, sejujurnya, aku tidak tahu dimana rumah matahari.

Namun ya, perahu kita menuju matahari tenggelam", mata tuanya bersinar teduh

dan bangga memandang cucunya, cucu laki laki satu satunya, bocah yang tak bisa

diam, dengan segudang pertanyaan dan rasa ingin tahu sebesar gunung.

Kemudian didengarnya keluhan lirih istrinya dalam nada mesra yang begitu ia

kenal, "Ah Stranger, kau dan lautmu, kadang aku berpikir kau ini menikahi siapa,

aku atau laut itu?"

"Oh bunda, haha, jelaslah ayah menikahimu, karena bukan lautan itu yang

melahirkan aku" sahut anak perempuannya, yang seperti kata orang orang, dan

harus diakuinya, benar benar mirip dirinya, dengan ketangguhan , keras hati, dan jiwa

hangat. Dimanapun putrinya ada, sepertinya dia membawa mentari bersamanya.

Hanya satu ciri sang istri yang dimiliki putrinya, kecil mungil dan dekik di pipi kiri.

Dipandangnya wanita yang telah mencuri hati nya bertahun tahun lalu, dan telah

memberinya mentari. Sungguh tahun tahun bahagia yang mengalir bagai sungai.

Dalam benak lelaki tua itu, berlarian kelebatan kenangan hari ketika dia dan sang istri

menanam sebatang pohon jambu di depan rumah mungil mereka, kebahagiaan istrinya

ketika bunga pertama muncul bersamaan dengan berita kepastian kehamilannya,

celoteh purtri mungilnya belajar jalan disekeliling batang kokoh sang pohon, pesta

kebun pernikahan sederhana sang putri dengan meja meja perjamua bertaplak putih

di bawah keteduhan sang pohon, dan sebuah hari kelabu berangin ketika satu satu

tubuh orang yang dikasihinya itu, tubuh sang cucu, tubuh putri mentarinya, dan tubuh

sang istri yang mencuri hatinya bertahun tahun lalu, dimakamkan bersisian didekat

sang pohon.

Suara lirih pak tua makin terdengar sayup sayup sejalan dengan hanyutnya perahu

kayu kecil itu menjauhi tepi, menuju matahari tenggelam. Ditangan pak tua,

tergenggam sepucuk daun jambu menguning yang telah diajaknya bercakap cakap

sebagai cucu, putri dan istrinya.

Daun jambu terakhir yang luruh sesaat sebelum pohon itu mati terserang hama,

kamarin.



pati, 1 september 2010

bahasa diam

terkadang diam menyerupa rahim

melahirkan anak anak pemikiran

kadang seperti asap, kadang kaca bening

kadang puisi pelangi, kadang puisi hitam

lalu bathin, ah, telah kau terakah neracamu?

ketika bayang bayang menyerupa pencuri

mengendap endap menyelinap

hati yang tiba tiba berjendela

maka diam berwujud doa

bagai oasis bagi musafir



pati, 31 agustus 2010

serupa puisi angin

kujelmakan hatiku serupa akar, hingga ketika

mereka berbicara kemungkinan, hanya satu yang

kutahu, tumbuh semakin menghujam hatimu

kujelmakan rinduku serupa puisi yang

kusajikan pada piring piring angin

yang melaju ke arahmu o sinabung

sinabung o sinabung

kuharap redalah amarahmu



pati, 30 agustus 2010

benalu

kusentuh janggutku, tetap kelimis seperti kemarin

duh tentu saja bukankah aku perempuan?

jadi mengapa juga nuraniku gelisah pada katakata

yang senantiasa saja merangkak

padahal bayi belum juga waktunya disapih

tetapi mungkin inilah waktunya mencari inang

untuk mulai mengajarinya berbicara selagi berlari

adakah ia tumbuh di tunas pohonmu

di bintil akarmu

di kambium batang keringmu?

masih saja tak tumbuh janggut di daguku

dan masih saja aku bingung

melihat pohon benakku inang bagi banyak benalu



pati, 26 agustus 2010

monolog

kepada pagi aku purapura cengeng

merajuk menahannya pergi terhisap siang

dan aku menantangnya bertukar peran

:aku jadi pagi dan pagi jadi aku

lalu kami bertukar kitab percakapan

yang dirancang bukan untuk diucapkan



ketika pagi mulai robek

kuputuskan aku menjadi aku saja

dan mengekormu kemanapun kau pergi

kali ini aku sungguhsungguh merajuk

mengetahui betapa tipisnya siang tersisa

aku merajakan hakku memonopoli waktu

yang setiap detik selalu kurindu sedemikian



aku menyukai percakapan kita

tak perlu dihapal

tak perlu rancangan

tak perlu persiapan

tak berbeban



pati, 25 agustus 2010

/6/

aku terpaku pada layar monitor kosong

entah bagaimana katakataku tibatiba mempunyai sayap

ia terbang hilang dalam kabut

tertelan waktu yang menamakan dirinya sepi

dan aku menyesal tak bisa menggambarnya padamu

apa layar monitor kosong bisa?



pati, 24 agustus 2010

pameo

dengan giat disapunya rontokan bunga mangga

'ah Tuhan, terima kasih gerimisnya

lunas terbayar rontokan bunga bunga

jadi tak usahlah anak anak sakit bulan ini'

karena konon entah bagaimana

nenek menyematkan sakit pada bunga mangga

samar samar didengarnya kidung kodok dalam parit

dia tepekur, entah doa siapa yang telah didengar Tuhan :

tiba tiba hujan turun deras

merontokkan seluruh mangga ke parit

tertempel kodok kodok

mengapung terseret derasnya arus



pati, 23 agustus 2010

/5/

kapalmu, kapalku, bersandar pada dermaga masingmasing.

layarlayarnya terobek, berjuang mencari nakhoda

'perjalanan telah mahal, belajarlah pada asap dan api

yang setia mengucapkan tanda di langit'

dua dermaga, dua duka. aku di pematang garam,

kau menabur garam pada danaumu.

dan aku masih saja tercenung,

bagaimana rindu mengenal asap dan api?



pati, 23 agustus 2010

kepada paitua ~3~

kubayangkan betapa kita akan bergantian

menggambari selembar kertas kosong

dengan wajahwajah hati, jejakjejak kaki,

dan pundipundi percakapan

yang isinya kita kumpulkan dari hari yang lewat



lalu pada ujungujung kertas yang mengikal

kita hiasi dengan roman muka kita

sebuah senyum yang bisa kita artikan apa saja



pati, 23 agustus 2010

kepada paitua ~2~

dan kartu pos ini bergambar kosong
taukah kau paitua,
ada yang bingung membacanya
ada yang terpingkal
ada yang mengartikan dengan khusuk
padahal kita cuma tak berbincang
dengan pesan : hati kita tetap putih

pati, 22 agustus 2010

kepada paitua ~1~

,,paitua...

jadi inilah kita

dua titik yang tergambar di peta

diantara lambang laut, gunung, daratan

tapi kupikir rentang kita hanyalah

selembar kertas kosong

puisi setengah jadi

sebuah kartu pos berlanskap hatiku



pati, 22 agustus 2010

/4/

ketika kau pergi

menuju terbenamnya matahari

kugambar dalam lukisan benakku

beribu puncak, berlaksa batas cakrawala

hingga kau lihat

didalamku matahari juga terbenam



pati, 20 agustus 2010

/3/

dan seperti yang sudahsudah kita memperbincangkan puisi

puisipuisi yang tak habishabis berbicara tentang kita

'puisi terakhir yang dia kirim menusukku' katamu

hmmm, aku hanya menggangguk

membayangkan bangkai puisi yang ditinggalkan begitu saja

tertikam komen paling kejam dan paling puisi



pati, 20 agustus 2010

/2/

ketika pagi datang tanpa malumalu

kusambut ia dalam damai

'silakan masuk,

kemana saja kau kemarin?

bisakah kau antar aku

menjemput malam saudara jauhmu

dengan demikian

kau bisa bertandang kembali lebih cepat'



pati, 21 agustus 2010

/1/

andai aku bisa berkata

'aku pergi untuk kembali'

tapi kau dan aku tau

aku bukan ombak

hanya kunangkunang semusim

hinggap di kotamu



pati, 20 agustus 2010

no katalognya sudah kau simpan?

pedih sungguh,

cerita yang kau sampirkan di kupingku

tetapi aku harus menaruhnya

karena hendak kusampirkan kacamata

dikupingku sebelum ia lelah

tak usah khawatir

ceritamu kutaruh di hatiku serupa rakrak

hanya...

tolong jangan hilang katalognya



pati, 20 agustus 2010