harmony

harmony

Senin, 11 Oktober 2010

selamat menempuh hidup baru, teman

di menara itu lonceng berdentang
burungburung terbang, kaget dan riuh
ada janji menanti diucapkan
diantara taburan beras dan doa
adalah waktu menyusup bagai sesuatu yang asing
menunggu dengan dingin
untuk memberi dan mengambil
lalu kelak pada waktu yang mengambang
diantara deru jam di bawah matahari
di menara itu lonceng kembali berdentang
mengantarkan hidup pada rengkuhan bumi

pati , 11 oktober 2010

bip bip : kali ini pesan buatmu

telah banyak pesan terkirim
namun maaf, pesan buatmu senantiasa terlupa
kutitipkan pada sungai, kau
juga segala tentang kau
'mengalirlah sampai jauh' kata lagu tua
pesanku :
bermuaralah di satu tempat

pati, 10 oktober 2010

di pekarangan suatu waktu

aku sedang menyisir rambutku
ketika seseorang melukis bayang bayang
satu satu diberinya wajah, mata dan telinga
yang tak bermimik, tak melihat dan tak mendengar

sedang kubersihkan sisirku dari helaian rambut
ketika kudengar dirinya mulai menjajakan bayangan
'ambillah satu, ambillah satu
aku akan setia menemanimu'

lalu aku mulai menghitung helaian rambut rontokku
ketika kulihat dia sibuk menghalau bayangan dirinya
yang rakus mematuk bayang bayang yang baru dilukisnya
satu satu rebah, tak berbentuk, tak beraturan

pati, 10 oktober 2010

tak bisa kugambar kau kembali

sehabis hujan kala itu
kemuraman masih menggantung berat
jalanan tambal sulam oleh genangan
aku ingat selintas ada wajahmu
tergambar di salah satu genangan
seketika buyar tergilas roda pedati

pati, 10 oktober 2010

sebuah pintu

Ah, sajak ini telah jenuh rupanya. Telah menggembung dengan cerewet.

Jadi telah kusiapkan koper koper baginya seandainya dia memutuskan

untuk pergi, belajar menjadi dirinya

"segeralah kau temukan dirimu

pergilah menuju pintu pintu yang tak terkunci

mulailah menjadi mimpimu"



Aku mulai bertanya tanya, dimanakah dia? Seperti apa dia kini?

Sebatang pohon, seekor burung, setangkai bunga, ataukah

tetap menjadi sajak yang kehilangan talentanya?

Hatiku sedikit menciut, membayangkan senyap dan riuh dunia

yang harus dihadapi, aku takut dia mengerdil terpangkas angin,

dan terhempas karang.



Di sebuah hari ketika langit begiu teduh dan pucat, ada sebuah

pintu bercat ungu, dengan gerendel mengkilat, pengetuk dari

kuningan, dan pegangan pintu yang pas ditanganku. Dengan fasih

jemariku membukanya, oalah, dibaliknya sajakku tersenyum.

Rupanya dia telah menjelma pintu, buatku menemukan aku.



pati, 8 oktober 2010

tarian ilalang

sebuah sajak terkubur di pekarangan
tepat di dadanya tumbuh ilalang
rapuh dalam sunyi
gemulai menarikan irama angin
lalu dipendamnya sajak sajaknya yang lain
'akan kunikmati tarian ilalang
sajak sajak hati yang terpendam'

pati, 9 oktober 2010

surat surat yang lupa ku poskan

1

jalan kita pernah sama, ketika bercabang, kita bersisian,

sayang, sepertinya susuran kita berbeda, jendela kita berbeda

tak ada yang salah, namun cerminmu tak bisa kau pasang

di jendelaku

apa kau pandang bukit itu lewat kaca mataku?

zku pernah mencoba memandang pepohonan lewat

matamu, aku hanya tak mengerti



2

waktu telah semakin tua, semakin bersahabat dengan senja,

jam jam berdetak pongah menunjukkan yang tersisa,

aku masih teringat ucapmu kala itu

'jalanlah dengan kepala tegak walau waktu bukan milikmu

namun ada selama kau ada'

jadi jangan pandang aku dengan telunjukmu yang bergetar

seakan aku pongah



3

diam, selalu rumah yang megah, buat amarah yang memagma,

sakit yang mengkristal dan berduri tajam, dan pandangan

yang kau baur dengan hitam

diam, sebuah pongah pada prasangka, seiring kepasrahan

dalam ketakberdayaan

kau dimana?



4

aku ada

kau ada

kita hanya tiada

pada waktu yang ada

lalu waktu membuat kita : diam



pati, 8 oktober 2010

tak berdasar

sebuah sumur
sebuah lidah
dalam
tak berdasar

: tiba tiba
jatuh
terus melayang
berguling menukik
tak bertepi

seekor murai berkicau
'aku bukan cecak
kudengar dan kubernyanyi'

sebuah sumur
sebuah lidah
seseorang tergelincir
mati

pati, 8 oktober 2010

tua

1
Bermula dari suatu tempat, tentulah seperti itu, berakhirpun di suatu tempat. Apakah aku takut tua, barangkali karena aku tetap membenci film film horor, dan senyum wajah wajah yang ditempel di pohon dan dinding dinding sepanjang jalan lesehan langganan nasi kucing kita yang menjajakan diri untuk dipilih, duh, mereka cuma mengingatkanku bahwa aku sudah tua ternyata, harus memilih.
Andai saja aku seperti ranting, tak memedulikan tua atau muda, buah buah diujungnya meranum, tua dan meninggalkan dirinya, tapi ranting itu tetap muda sayang, apa karena ketakpedulian itukah?
Berawal dari suatu titik, ya sepertinya begitu, jadi sudah sejauh manakah kita? Seperti baru kemarin, ah itu masalahnya...

2
Samar samar aku teringat wangi bandrek, lampu jalan, genangan becek, obrolan tentang kemarin yang membuat kita terbahak bahak, aduh apakah setua itu hari berlalu?

3
Aku telah mencarinya di buku buku pintar sayang, entahlah, mereka tak merumuskan turunan cinta ketika tua

pati, 8 oktober 2010

Kamis, 07 Oktober 2010

pause

benak

sebuah proyektor

dalam menu : rewind



sepetak padang rumput, di sisi padang garam

angin yang bersahabat

sunyi yang hakiki

sebuah rumah



bunga bunga tebu, gemulai dan rapuh

wangi gula

gemerisik yang mebuai

sebuah rumah



benak

sebuah proyektor

dalam menu : pause



(tunggu aku...)



pati, 7 oktober 2010

sarapan

aku merasa seperti sepi sebuah stasiun tua, sepur sepur itu berdentang ketika kereta kereta lewat di atasnya, tapi aku tak bisa ikut pergi, terikat sepi yang terantai pada bangku bangku peron, dan sobekan karcis yang terinjak di lantai basah, dan dengungan suara yang menyesakkan :

'selamat datang para penumpang

selamat jalan para penumpang'



pukul berapakah ini, sayangku, karena ada yang bertahan tidur di kelopak mataku, berkemah di sana dan memanam sebatang pohon duri rupanya, durinya kerapkali menusuk bola mataku ketika aku terjaga, menciptakan sungai dalam derai hujan, kau lihatkah setangkup mawar? hendak kupinjam tiap kelopaknya ganti kelopakku yang telah menyerupa kantung hujan



aku terlelap di dapur tuaku sendiri, kekasihku, lelah dan lupa resep nenek berikut seluruh mantranya yang mampu mengubah sepi menjadi sesuatu yang garing dan renyah, jadi aku hanya merebusnya bersama duri duri yang berjatuhan dari kelopakku, tak usah khawatir sayang, tak kan kusajikan di meja makanmu, telah kutelan ganti sarapan pagiku, hanya tolong bangunkan aku ketika kau tiba di stasiun itu, dan melepas rantai sepi yang membandul di leherku



pati, 7 oktober 2010

hang on

malam telah lelah
dengkurnya begitu senyap
maaf, rindu ini
kulipat sejenak
kelak, biarlah terpapar
sewaktu kau ingat

pati, 6 oktober 2010

siapa yang menandai?

seseorang mencatatkan waktu kedatangan, namun kepergiannya entah siapa yang menandai
dan guruh itu menandai kedatangan hujan yang redanya senyap teredam tanah
namun adakalanya tanah itu bukanlah rumah, dimuntahkannya segala sesuatu yang dipendam
ah, dimana angkuh itu
murka itu keluh bagimu

pati, 6 oktober 2010

teh

secangkir teh tarik : tersesat diantara yang kukenal, atau barangkali tidak, pernah kumiliki atau entah angan, gamang mencari keakuan disekian banyak aku, ataukah kau?

'telah kuseduh teh seruni itu
bersama doa doa leluhur
yang dibisikkan ibu di telingaku'

secangkir teh pahit :
tak usah kau cari aku pada jarak yang tak bisa kau hapus, sehari bagiku yang entah bagimu, tak selamanya semua bergerak lamban bukan? satu satu jam beku itu dicuri darimu pada sepersekian kedip matamu

pati, 6 oktober 2010

dua babak

tak pernah kulihat panas gersang bersahabat sedemikian erat dengan hujan seperti ini, bagai lakon dua babak dalam tema yang membuatku gelisah di tempat dudukku

lalu pada siapa sebenarnya aku mengeluh?

jadi akan kubuat demikian : kulukis pelangi berulang ulang, di langit, di tanah, di bisu, di gegap, di rincik, di sepoi

dan biar saja matamu mataku sibuk mendulang makna, ketika terjeda : bukankah demikian adanya rinai itu terserap tanah dan kabut itu terurai pergi?

pati, 5 oktober 2010

aku berkeping keping

sepertinya benakku pecah berkeping keping, lalu badanku latah mengikuti ketika mencoba memaksa diri memunguti serpihannya satu satu, itukah yang terjadi ketika hujan sore itu, semata hancurnya hati langit atau saat daun daun gugur berserak semata remuknya niat pohon?

kau selalu muncul serupa pohon itu sayangku, terus tumbuh, dan tumbuh, dan aku ingin membayangkan diriku serupa tanah yang merangkummu, setia ketika kau tumbuh subur ataupun gugur dalam gigilmu, aku merangkummu dalam setia dan rindu yang tak mampu kugambarkan, entahlah apakah menyerupa kaki kaki meja itu atau pegangan pintu itu yang entah kupakai menutup atau membuka pintu

hari ini setia juga memelukku, sepertinya dia menyerupa tanah bagiku ketika aku serupa pohon baginya, dengan kesetiaan bagai kaki meja dan pegangan pintu

duh sayangku, benakku hancur berserakan

pati, 5 oktober 2010

tikungan

kerentaan tumbuh jauh di dalam
waktu terus berlalu bukan, sayang?
mereka , wajah wajah tak ku kenal
patahan hari berserak juga
di setiap depa tubuh wajahnya
'kita ini peminjam hidup
berlalu laju pada renta'
dan aku merasa senasib
dengan tikungan tua ini
menunggu bis terakhir
menurunkan seseorang
; betapa rentanya rindu

pati, 3 oktober 2010