harmony

harmony

Senin, 29 November 2010

pasal 2

'lidah tak bertulang'
perempatan yang sama,
pengamen yang sama
pernahkah sajak bertulang?
betapa ia lidah penyair
mengapakah pula lalu sajak lahir menjelma dirinya sendiri
'uh, maaf, itu hanya sajak' kata penyair
ya, betapa sajak serupa lidah yang lekat di bibir penyair
yang senantiasa berkata 'maaf, sajak itu lahir sendiri'

pati, 26 november 2010

pasal 1

pernah ingin kubuatkan kau puisi tentang sepi
namun diam diam kata kata lantang menyuarakan makna
lalu hatiku mengalir begitu saja
tanpa bisa dibungkam
dan kau bisa berujar 'wahai sepi itu menelanjangi dirimu'
barangkali aku hanya berkata, ah aku hanya menemukan diriku, hanya sepi, itu saja

Pati, 24 november 2010

dan malam semakin larut...

Tanpa sepengetahuannya, bulan tenggelam di cangkir kopi yang tengah diaduknya. Terpotong potong, terlarut
Sepotong bulan : dibenamkan wajahnya pada kenangan yang terbingkai pigura berdebu, kumandang tawa gaung yang tertinggal, menggemakan pedih yang tersilet rapi
Potongan kedua : "halo sayang, apa kabarmu? aku baik baik saja, menunggu bulan yang tak juga muncul, adakah dia ditempatmu? aku kehilangan dia seperti aku kehilanganmu"... (bib bib tekan bintang, pesan tersimpan)
Potongan ketiga : mengapa jalan selalu terlihat tak sama? wajah wajah yang hilang, bougenville merah tak lagi berbunga, dimana jembatan kayu yang dulu senantiasa kita lewati?
Potongan bulan terakhir remuk di dasar gelas, berserak diantara ampas kopi dan puntung yang kehilangan bara, dan kesadaran yang menjauh, dan sepi yang terkunyah, lumat

Pati, 23 november 2010

capung

seekor capung tetaplah capung
walau hinggap bersisian kupu kupu
'hendak kucari tepian air nan lapang
buatku diam dan bercermin'
sedang kupu kupu menari dipijar cahaya
menuju bunga bunga mewangi
menuju indahnya taman hati
menghisap sari pati puja puji
capung bercermin di tepian air
tersirap melihat pantulan langit tak berbatas
dan dirinya yang hinggap diatas sepotong ranting
lelah terpapar matahari

pati, 21 november 2010

catatan buatmu, paitua

Telah kucari cari, sungguh
Tombol yang entah dimana
Andai kutemukan, barangkali
'Klik'
Bayang bayangmu sejenak pupus
Cukup beberapa menit saja, jeda
Lalu aku bersama dingin yang mengabut, luruh
Mencerna malam yang mengembun, hening
Bukan penyangkalan sayang
Hanya mencecap malam dan sunyi besertanya

Pati, 21 november 2010

sebuah jarak

Berkilo kilo meter darimu. Sepertinya senja turun lebih cepat, lalu siang kembali bertandang setelah menggamit pagi secepat dia mampu. Pernahkah siang mempertanyakan dirinya yang senantisa dinilai terlalu panjang atau terlalu pendek? Siang ini, berkilo kilo meter darimu. Seekor burung kehilangan arah pulang. Gelisah. Riuh tak henti dibalik daun daun yang tak lagi rimbun. Hidup, memulai yang baru. Berkilo kilo meter darimu, ada jarak yang tak terukur. Perjalanan tanpa denah sebuah benak. Lalu siang memilih lebih panjang. Lalu burung memilih nyanyian kehilangan. Lalu aku, kupilih mengukur jalan benakku

Pati, 19 november 2010

kenangan

Bagai singa lapar. Menunggu dengan setia, siaga hendak menerkammu dalam perangkapnya. Lalu kau terjebak, sunyi, dalam pesona yang menghisap habis hatimu. Warnamu menjadi warnanya. Biru kelabu, merah muda berseri, atau hitam kelam tak bertepi?
Pada jarak dua bola matamu, waktu terseret surut, beserta dengannya masa yang begitu entah, jauh. Sarat. Berbuah buah kerinduan, ranum.
Ah kenangan. Bergelantungan dengan tali kasat yang siap menjeratmu. Mengembara dalam genangan bola matamu. Berbual bual bagai mata air yang senantiasa pasang. Tersebab itukah betapa redam matamu?
Maka aku, di depan jarak kedua matamu, terhenyak, luluh.

Pati, 18 november 2010

kakek, catur dan kau

Aku teringat kakek lalu aku teringat catur. Kakek, catur dan bidak. Bidak bidak kayu, bidak kuningan, bidak perak, bidak catur. Misteri. Ya, pertanyaan yang selalu lupa kutanyakan pada kakek. Pion, barisan bidak berani mati yang patuh. Selalu berderap maju, satu satu dan mengapa? Ah sang patih, misteri, mengapa selalu berjalan serong? Kupikir sepertinya langkah bidak kuda indah, menari bak puisi yang terikat huruf L. Lalu apa dibenak sang tuan? Kuda lari, laju, lambat, lurus, lirih, lancar,lupa, lemah, lindap, limbung.
Kakek dan catur. Misteri. Aku lupa bertanya mengapa raja sering sembunyi. Aku tahu kau sedang bercatur dengan langkahmu. Misteri dan aku tak tahu mengapa

Pati, 15 november 2010

mimpi

Mimpi. Perlu sebuah malam untuk menemuinya. Sepasang mata yang terpejam untuk melihatnya, menyatu dengan lelap untuk menikmatinya penuh tak terusik. Adakah kata kata dalam mimpi? Entahlah, tetapi pesan yang dibawanya setiap pagi slalu sejelas langit tak berawan : itu mimpi. Sedang aku berpikir tentang mimpiku semalam, hatiku tiba tiba sepahit empedu. Banyak mimpi yang terlalu sederhana, ada juga yang terlalu gombal hingga bintangpun serasa berkelip di langit langit kamar bukan langit. Mimpi kadang menjelma perhentian, bukan penantian. Kira kira perlu berapa lama untuk memahami mimpi dan mengerti pesannya? Tapi mimpi kupikir sedalam hati, sekelam malam. Kecuali mimpi yang sengaja kita set di siang bolong. Suatu saat aku bermimpi, melukis mimpiku di matamu, yang lalu hadir setiap hari. Sungguh, aku takkan pernah bosan memandangnya



Pati, 13 november 2010

ketika tiba tiba ingin sekali kueja namamu

Ingat baik baik rasa hangat itu sayangku. Setelah sesuatu meminjam dan menyembunyikannya sejenak. Seperti merapi yang memilih meratap setelah sekian lama memagma diam. Lalu mentari dan embun hanya ada di langit hati kita, tersisa dari sedikit kesadaran. Tak usah kita bangun tembok tembok ratapan dengan nama kita terukir paling atas, atau tiba tiba rajin melukis lembah gelap diantara gunung gunung yang mengulang kesalahan hari kemarin di langit batin.
Ah, sayang, barangkali ada saatnya kita harus mengingat kembali tanggal lahir dan warna warna yang membungkus diri kita dalam kehangatan, dan mulai mengejanya sekarang.
Sayangku, akan kueja namamu sedemikian, diantara setiap langkah yang kueja disetiap persimpangan dan tikungan, dan akan kuhafal baik baik rasa hangat itu.

pati, 13 november 2010

happy birthday, paitua

paitua,

ketika pagi datang, hatiku mengembang

merimbun oleh tunas tunas harapan

dan doa doa yang tambun

(dan aku tak ingin berbicara tentang

pagi yang mengabur, waktu yang berkurang

langit yang sedang menyembunyikan warna)

pagi ini menyajikan sesuatu yang tak bisa kugambarkan

semacam keteduhan barangkali

mengganti sedihku pada sebatang lilin dan

seloyang kue coklat yang tak pernah mengembang sempurna

lalu puisi puisi yang menghilang entah kemana

paitua,

maafkan aku

hanya ada sedihku yang terbungkus

kertas kado tak berwarna

karena tak ada bintang jatuh

yang bisa ditunggangi harapanku : memelukmu



happy birthday my dear...



pati, 6 november 2010

daun

sedikit yang mengingatnya, seringkali tak dikenali, atau haruskah?

mereka mencari buah , lalu menjatuhkan penilaian

mereka memandang bunga, lalu memuja muji kecantikan nan semerbak

mereka menanam akar, lalu mencengkram beranak pinak

mereka memburu batang, lalu bertaruh sampai mati

tapi haruskah mereka mencari dan mengingatnya?

(lalu dirinya mulai menggulung, setelah ditampungnya mentari dan diserapnya udara, telah ada perbincangan dengan batang tentang gugur, tentang pengorbanan dalam ranggas, dan perjanjian dengan angin yang menjemputnya)



pati, 5 november 2010

dari balik abu, warna itu akan kembali

ketika kabar itu datang, kesunyian mengguruh menggulung keakuan, tak ada yang lebih selain : abu

betapa jauh batas langitMu dibalik kelabu itu, dimana bintang bintang itu kini?

betapa teduhnya foto tua di dinding bisu dan kotor : rumah, berdaun hijau, berlangit biru

oh wahai jiwaku, jika warna itu hilang dari langit dan pohonmu, dari tanah dan sungaimu, dari ternak dan kicau burungmu, tidakkah sungai dan air dan daun keteduhan jiwamupun mengelabu?

maka biarlah abu mencelikkan bathinku yang serupa abu



pati, 5 november 2010

selimut waktu

paitua,

betapa bijaknya waktu yang telah memenggal menggal dirinya sedemikian, dan membiarkanku melukisnya dalam setiap batang lilin, atau hitungan hari bahkan jam yang tak terhitung batas jemariku, indah bukan karena dengan begitu akan kulukis jam jam dan hari hari itu bagai lembaran benang yang saling merajut sedemikian membentuk hamparan selimut yang melebarkan diri terus menerus , membalut, rapat

terima kasih buat selimut waktumu buatku, paitua



pati, 2 november 2010

yang tak bisa menunggu

jangan kau lukis mendung itu sendiri
mungkinkah usai ketika kereta senja itu datang?
tidak, kereta tak menunggu
penantian tak bertepi
telah terpahat di dada stasiun
yang tak mampu mengubah dirinya

pati, 25 oktober 2010

panah

tertikam tanpa belati
tersayat tanpa sembilu
begitu saja meluka
tak perlu pisau itu, sayang
untuk menggores yang telah koyak
sebuah hati mati
diujungpanah katamu

pati, 25 oktober 2010

huruf yang enggan dipanggil : sajak sang penyair

sebuah sajak kebingungan
resah dan gigil mengendapkan nyali
disembunyikan wajahnya
diantara huruf yang mulai rontok
berjatuhan
(lalu mereka mereka-reka adanya
laksana pedang berlidah tajam
laksana hati yang bertulah
bualan yang memabukan
dan seribu tulah lain di punggung sang sajak
lalu sang sajak mulai menangisi kelahirannya
: tak bisa kah kau bentuk aku menjadi deretan huruf tak bersajak?)

pati, 23 oktober 2010

pagi

pagi mulai membuka tingkap tingkap dirinya
bagai kekasih yang setia
'mari mulailah melangkah'
lalu aku kebingungan mengumpulkan jejakku semalam
duh, sepertinya mimpi mengaburkan jejak jejak itu
kekasih sunyiku
hendakkah kau bagi aku kembali senyapmu?

pati, 23 oktober 2010

cerita tentangmu, yang tak pernah habis

betapa telah kupetakan dirimu di telapak tanganku
namun bahkan garis tangan milikkupun tak mampu kujabarkan
kau asing sayang,
pengelana asing yang rajin menapaki jalan jalan hidupku
menumbuhkan tunas yang bersulur sedemikian di hatiku
sepertinya dirimu yang terlukis di retakan dinding yang tegak berdiri kemanapun ku menoleh
pada hitungan kala
ada saat aku mengenalmu
sebab kau mimpi yang kerap bersekutu dengan malam

pati, 22 oktober 2010

puisi yang memintal duri

akan kubuatkan kau tiga puisi
setidaknya cukup buatmu
kembali bertemu pagi
dengan namaku tertera di ambang waktumu
/1/
sedang kutunggu dering bel teleponmu ketika sms mu lebih dahulu berdering di mataku : 'telah kusiangi rumput rumput liar dihatiku yang selama ini kau ributkan' dan aku termangu sebab entah kapan kusiangi rumputku sendiri yang kubiarkan hujan merawatnya hingga memenuhi taman hatiku

/2/
kudengar desah dahan ketika duri duri dilahirkan sepanjang tubuh merobek kulit, menghalau kerinduan serangga menjalari ranting dan cabangnya, lalu kudengar desahku sendiri ketika duri duri bermunculan di hatiku ganti tunas yang telah habis termakan rayap kesangsian

/3/
bahwa jarak seringkali tak berdepa
semata hati yang memilih meranggas di musim yang salah
dan membekukan hujan pada musim tak berujung

pati, 22 oktober 2010

mercusuar

di tengah terik yang melayang layang di atas Pati

aku takkan menangis

takkan kubiarkan hujan semusim

menenggelamkan hatiku



kubayangkan hatiku menyerupa perahu kecil

(bukankah kau sedang diatas speedboat

bersama dayangmu sayang?)

terombang ambing jauh dari tepi

tak tau arah hilir

tak mengenal hulu

tak mengerti haluan

tak memahami buritan





dan perahu itu mulai mengecil dan mengecil

lalu hilang dan karam

menyisakan pusaran dan gulungan gelombang

meluap luap begitu rupa

dan menghancurkan bendungan yang selama ini

telah kubangun dimataku



sayangku,

saat ini aku sedang sibuk membangun kanal kanal

membangun mercusuar dalam benakku

hingga kelak, jika tiba tiba hatiku

memilih kembali menjadi perahu kecil

ada cahaya yang menuntunnya

sesaat sebelum karam



pati, 19 oktober 2010

refleksi-4

'aku lupa wajahmu'
dan oh lihatlah
telah dicarinya dirimu
diantara pejalan asing di kotanya
disela buku tua di rak berdebu
di mimpi yang pernah dituliskan pada sebuah sajak
bahkan dicarinya dirimu ketika dia bercermin
sebab katanya,
'aku tak mengenal diriku
hingga kau merefleksikanku'

(dan cermin hanya menampilkan seraut wajah lupa)

pati, 18 oktober 2010

aku

entah tersebab apa

lautan senantiasa mengirim anak gelombang

menuju pantai



entah tersebab apa

bumi begitu diam ketika akar akar

menyerap habis isi hingga magma



entah tersebab apa

hujan habis dikuliti

oleh sajak sajak kelabu



dan tersebab itu

biarkan aku mengurai

makna jarak



pati, 18 oktober 2010

sahabat badai

aku terpaksa menyimpanmu di sudut terjauh ingatanku, karena
entah mengapa langkah langkah pendek otakku sampai juga
kepadamu dan akan senantiasa membuatku lelah, bagai ketakberdayaan
mengusir ketukan ranting di jendela ketika badai, atau menghalau
tetesan hujan yang menyelinap sela sela pintu
kau terlalu rajin menyimpan anak anak badai di setiap jejak sepatu,
yang entah mengapa pula rajin terinjak kakiku, meletup letup di sela
jemari, menjadi jalan cacing menuju darahku dan menimbun borok
di hati
aku tak kan mengingkarimu dari masa lalu, namun semata mata
menyembunyikan jejakku di masa depan, ah aku serupa benar
pakaian lusuh di tiang jemuran yang mencoba melupa jejak jejak
air ditubuhnya

pati, 18 oktober 2010

rumahmu, Tuan

Tuan, pulanglah ke rumah, satu satunya kekasihmu yang setia

tak sungkankah kau umbar senyum tawamu, dan pulang dengan

bekal keluhmu? tak ada yang lebih setia dari rumahmu, Tuan

yang tetap diam ketika kau umbar cerita dongeng kilau rumah tetangga

atau kau lukis jendela jendela cemerlang rumah sebelah

rumahmu diam menunggu hujan menjernihkan dirinya

dalam diam, lewat mata jendelanya dilihatnya engkau, Tuan

menari nari melintasi rumput tetangga

bercengkrama dengan kupu kupu yang berulat d halaman rumahmu

rumahmu diam, Tuan

biarpun matahari dan kicau burung kau seret pergi menuju mata hasratmu

hanya dalam kilau yang meredup, dibisikannya namamu, Tuan

'ah engkau yang melipat segala sesuatu dibalik punggungmu

kutunggu kau dalam lelahmu'



pati, 16 oktober 2010

puisiku terluka separah aku

awan awan pernah menyembunyikan puisiku
hujan pernah memudarkannya
matahari pernah mengkelantang puisiku
hingga aku tak mengenalnya lagi
pernah seseorang mengurung
membangun pagar pagar berduri
tapi entah mengapa
aku terluka dengan sangat
ketika kau sembunyikan puisi puisiku di matamu

pati, 16 oktober 2010

ranting

kendurkan saja dawai lidahmu, kekasihku
dan simpan serapahmu di rawa rawa tempatnya berasal
biarkan kepekaan yang tumbuh sepanjang depa rambutmu
tumbuh menjadi ranting berbuah lebat
dengan daun yang tak lekang termakan ulat
atau rengat oleh tempayak
dan aku yang lelah
biarkan kali ini mendekam di bawah rantingmu
menikmati kesunyian yang kau laungkan dengan gigih

pati, 15 oktober 2010

...kemarin itu

menujumu

seekor semut menggeliat
terjepit di sela ubin ubin kelabu
terkadang sepertinya
puisiku mengelabu
di sela patahan kata
yang berjuang menujumu

pati, 14 oktober 2010

hidup

ada yang hilang kemarin

entah siapa

entah dimana

dan hari ini takkan sama

juga besok

karena hari ini

ada yang dijemputNya juga



pati, 14 oktober 2010

siwalan

sebutir siwalan jatuh menggelinding

tergilas ban truk yang tak peka

hancur

berantakan

sepertinya dia hanya salah

memilih waktu meninggalkan sarang

apakah jenuh itu sebabnya?



dulu anakku merengek

siang malam bertanya

'seperti apa siwalan?

bagaimana siwalan?'

kubilang, makan saja cengkaleng nak

atau kelapa muda

dia tetap menjerit ingin siwalan

yang berubah menjadi keramat



hari ini anakku tersenyum

ada siwalan di jalan mama

seperti cengkaleng

seperti kelapa



ah, siwalan yang tak keramat

jatuh di waktu dan tempat yang salah

apakah karena jenuh itu?



pati, 14 oktober 2010

remote

Senin

06.00

Alunan suara musik yang menenangkan mengalun lembut,

membangunkan dirinya. Disingkapnya selimut, dan diraihnya

sandal kamar. Diraihnya remote control dan dipilihnya menu "MORNING".

Seketika mulai didengarnya gemiricik air hangat di bath tubnya.

06.30

Ketika kakinya melangkah di ambang dapur tak berpintu, aroma

kopi yang pekat dan wangi memenuhi ruangan dapurnya yang tertata

serba modern. Dilihatnya istrinya tersenyum manis, duduk di salah satu

kursi makan itu. Sambil balas tersenyum, ditariknya sebuah kursi di hadapan

sang istri, dan mulai dinimatinya sarapan pagi itu : secangkir kopi dari mesin

pembuat kopi otomatis, sepotong roti bakar dari toaster yang juga telah

tersetel otomatis.

07.00

Diraihnya tas kantornya, sejenak dicermatinya kembali penampilannya

di cermin besar yang menghiasi salah satu dinding ruang tamu. Sang istri

berdiri dengan anggun di samping pintu depan,, senyum manis tersungging mesra.

Dikecupnya kening sang istri.



Selasa

06.00

Rutinitas hari Senin berlangsung



Rabu, Kamis

06.00

Rutinitas hari Selasa berlangsung



Jumat

07.00

Dengan langkah ringan, dia berjalan menuju mobilnya yang terparkir di jalan masuk

rumah megah itu. Sejenak ditolehkan kepalanya, memandang lembut sang istri yang

berdiri anggun dengan senyum tersungging di dekat pintu.

Diarahkannya remote control dan ditekannya tombol menu : OFF

Pada layar remote tertera tulisan :

Hologram mode off

Lalu dilihatnya bayangan 'istrinya' perlahan mengabur dan menghilang.

Lampu lampu padam.

Seluruh dengungan dan suara alat alat elektronik berhenti.

Mulai dijalankannya mesin mobil seraya berbisik 'sampai nanti'

dan remote control di tangannya mulai distel pada mode "NIGHT" : ON pada pulul 21.00



pati, 13 oktober 2010



(mohon jangan ragu ragu menuliskan kritik)

mie

sudahkah kubilang selamat pagi?



pesan itu sudah kubaca

'jangan makan mie instan

selama ada nasi goreng'



apakah amang itu masih jualan di persimpangan?

semalam aku bermimpi

melihat malam bersamamu dan segelas bandrek

aroma kayu manis menyengat

pedas yang menggigit

kucari wangi itu pagi ini

yang tersisa hanyalah pedas itu



kupikir, sebaiknya kukoyak sunyi ini

tolong lihat di layar hapemu

'tulalit sayang, aku belum buat nasi

bisa kau kirim mie instannya?'



pati, 13 oktober 2010

kartu posmu, paitua

paitua,

kartu pos ini tak jengah; tak sedikitpun mengeluh

meski dengan sangat kupelototi ia, mencari makna

tentang toba yang temaram di ambang malam

tak terlihat hujan, atau kabut yang sering kita

ributkan, hanya air gelap memantulkan siluet

wajah bulan yang terbalik

dan bulan itupun begitu tabah, tak peduli

keriak keriuk tampak mukanya, tak ada protes

tak ada sedu dan keluh

justru aku yang entah harus berbicara apa,

kehilangan kata dalam sunyi itu



pati, 11 oktober 2010

siklus air

dan terus
dan terus
dan terus
tetesan hujan tercurah
bagai seseorang yang membagi rata mainannya
satu untukku
satu untukmu
satu untukku
satu untukmu
dan langit yang kehilangan isi rahimnya
berseru murka pada mentari
'kembalikan apa yang pernah kukandung'
selayaknya lelaki dengan penuh cinta ditaburnya kembali benih
dipenuhinya rahim langit dengan bakal bakal hujan
dan waktu membuat langit menceraikan kembali apa yang telah ditanam matahari

---cerita buatmu nduk---

pati, 11 oktober 2010

gigil

Bunga tebu itu menggigil tak mengerti, ketika wajah wajah dingin membabat lengan tebu yang menopangnya, membuatnya rebah, hancur, terinjak. Mereka merenggut lengan lengan yang menopangnya selama ini dan membawanya pergi jauh.
Hujan, yang dulu sangat dipuja, berubah menjadi ribuah panah, menikam, meluruhkan kelopak bulunya satu satu yang berkeriap di aliran tanah becek, berpendar diam.

pati, 11 oktober 2010