harmony

harmony

Jumat, 28 Januari 2011

gambar

'aku lelah berkata kata' ujarmu suatu kali

dan kau mulai menggambar pikiranmu

di kertas yang senantiasa tergeletak begitu saja

kau menggambar balon warna warni

banyak sekali

kau tulis dalam lingkarannya 'mimpi'

di kertas kedua kau mulai menggambar

sebatang pohon beranting rindang tak berdaun

kau buat ujung ujung ranting itu begitu tajam

balon balon itu kau gambarkan kini

terbang menuju ranting

ah di halaman halaman berikutnya

balon balon itu menghilang pecah satu satu

lalu kau buat gambar genangan air besar sekali

'balon mimipi itu meletus

tertusuk ranting pohon hidup

berserak dan tenggelam dalam genangan'

lalu kau mulai membubuhi titik

dan kalimat 'selesai'



pati, 27 januari 2011

tohe

Puisi ini bertepuk sebelah tangan, karena hujan

yang hendak kuceritakan urung bertandang,

tak ada pelangi, tak ada awan tebal, langit

birupun tidak, cuma kelabu yang bersahaja.

Kudengar perahu perahu tak melaut, walau

puisiku tak menciptakan gelombang, tak cukup

ikan dan udang katanya, ketika samudra menolak

canda, menolak ketika tubuhnya dirayapi perahu,

maka hasrat melumuri tahu dengan tohepun mesti

beralih, garam saja kekasihku, garam saja.

Kudengar pula tentang kau, yang termangu di

depan pagar, mencermati setiap kupukupu dengan

kasmaran, padahal baru kemarin kita biarkan kupu

kupu menjadi pengembara, yang kasmaran untuk

berpuisi.

Puisiku benar benar bertepuk sebelah tangan,

tohe, kupu kupu, dan kau pun, urung kujumpai.



pati, 26 januari 2011



cat : tohe = bumbu serupa petis cair, kemerahan

berasa seperti terasi, terbuat dari udang

kecil, makanan khas juwana,pati.

puisi yang sembab

/!/

puisi yang sembab

kutulis warna lembayung

membawa senja yang biasa



/?/

tolong, katakan padaku

nyanyian hujankah yang kau dengar?

aku hanya melihat tetesan patah

pasrah menabrak jendela



/?/

betapa saratnya kelabu

pada puisi yang gegas memendam luka

menyempurnakan gundah yang tak sudah sudah



/?/

ah, masih basah

tinta yang mengental di tubuh puisi

janganlah terlalu cepat aus

sedang senja belum juga habis terpuisikan



/!/

puisi yang sembab

kutulis warna lembayung

membawa senja yang biasa



pati, 25 januari 2011

akumulasi

di kegelapan yang semakin larut
langkahnya terhuyung
' banyak sekali bayangan bulan malam ini?
lupakah aku menurunkannya?'

di mata seseorang
yang melihat bulan dan bintang
hanyalah dekorasi panggung yang terlupa
segalanya terasa bias
'Ugh dimanakah benak yang kugantung tadi?'

(dan dimulailah mantra
menggugat tuhan)

pati, 25 januari 2011

kisah buih

pucuk gelombang melempar buih ketepian, timbul tenggelam, terbuang terhempas
kisah buih senantiasa terulang
bertahan dengan caranya

pati, 25 januari 2011

duhai

Bunga tebu, siapa nyana jika esok terbakar api? sedang angin menepikannya, hujan membekapnya, tak urung menjadikannya mempelai embun. Dan puisi mengalun bak resital, sarat romantika perjalanan di lekuk tubuhnya. Duhai, karamkah malam di kelopak bungamu?

( di kejauhan : siapa yang telah membakar ladang?)

pati, 24 januari 2011

hanya

senja tak turun sesekali, namun berkali kali, hanya ketika tubuhmu usai

mengarungi waktu, senja itu hanya sekali, dengan ungu yang hanya, hitam

yang hanya, atau cahaya yang terlihat dari puncak bukit terjauh, atau titik palung

terdalam,

dongeng indah, yang tertanam dan tumbuh di benak setiap

orang, bukan hanya

adakah mudah menafsir jarak, mengandai langkah? hanya matakaki yang semakin

jeli, memindai pasir dan kerikil yang semakin terasah, merajam telapakmu, membuat

sinyal menafsir gelagat perjalanan, lalu kita berusaha mengerti, dan berujar "bukankah....?"

dan dengan pengertian yang berbeda berkata"ya, sepertinya...tetapi..."

sejauh ini, kita akan bercanda dengan fasih "tak usahlah garam mengenal jejak menuju

saudara tuanya, laut, karena mata akan selalu menghimbaunya untuk kembali", dan

muara terasa begitu jauh, dan sungai tak bertepi, menjelma air terjun, yang turun

derai berbuih, dan arah dimanakah itu entah?

pada akhirnya, kita merindukan subuh, dengan embun ramah menggantung,

mendengarkan detak jantung yang tetap, "ah, inilah jalanku..."



pati, 22 januari 2011

amulet

cahaya jatuh
di ujung jalan

seseorang mengukur bayang
yang terpampang di halaman tengah
surat kabar yang sebentar siang
menjadi alas tempatnya duduk

andai setiap peristiwa
yang kumengerti kubekukan
kubuat amulet bergemerincing


cahaya jatuh
berbaur di ujung jalan

pati, 22 januari 2011

irisan

foto foto tua memanggil sunyiku



aku tak bisa menghindar

menghayati irisan gambar

yang sekongkol

melilit perutku

melipat paru paruku

dengan satu kata rahasia

: kenangan



kau, tidakkah desah tanyaku tiba?



siapakah pedih yang melayang layang

atau dendam kelam nan ranum?

dan aku kembali bocah

tak sanggup menoleh keluar jendela

sedang harap dan cemas

belum juga terbungkus

: rindu



aku, berlingkar sunyi, merumpun kepalaku



dan helai helai foto

yang tak bertanggal

menari-membiusku

ketika mulutku menembangkan duka

dingin yang tertempa

menghantam lutut kurusku

: rubuh



tolong, selinapkan kenangan itu

di antara hari ini dan esok

bisakah?



pati, 21 jamuari 2011

Jumat, 21 Januari 2011

di ujung kolam seusai pertandingan

Di pinggir kolam digerakkannya kakinya, air berkecipak meriak. 'Aku tak yakin kupu kupu mampu terbang dengan gaya ini, apalagi bernang?' Hingga ketika peluit tanda start dimulai, di atas papan tolak dirinya bertekad, aku harus segemulai kupu, sebab siapa yang pernah melihat kupu kupu yang terbang dengan kecepatan 60 km/ jam?

Ibunya mengernyit seakan akan sinar matahari tanpa diundang menyerbu masuk kelopak matanya seketika.

Sudah siang, ini partai gaya punggung. Dihitungnya seberapa banyak dia ingat jika memiliki punggung. Ugh, ketika tidur terlentang, atau ketika ibu berteriak untuk membawa tas sekolahnya. Tidakkah sebaiknya aku melakukan gaya ini dalam sikap paling menyenangkan? Tidur.

Lalu dicobanya gaya katak yang menurut pelatihnya gaya terbaik yang ia miliki. Ugh, siapa pula yang seperti katak? Perlahan bibirnya tersenyum ' Akan kubuktikan kebebasan gayaku, bukankah sudah waktunya menyentuh finish ?'

Siapa yang menyuruh mereka menghitung waktu?

pati, 20 januari 2011

tentang kata tanpa perbincangan

Kita berulang ulang menulis sebuah kata, yang menggambar wajahnya sendiri, dan terarsir hitam.
'Cahaya tenggelam' katamu
Dan taukah kau, serentak semua berbicara, mengira ngira, dan membaca keras keras wajah kata yang terarsir. Ada yang menempelkan hidung, mulut, juga alis. Lalu terjebak, karena lupa menempelkan mata. Sebenarnya itu wajah siapa?

Tiba tiba saja kita saling mengerti, tanpa percakapan, dan betapa wajah itu sangat lucu, kosong, hitam

pati, 20 januari 2011

draft

Aneh, aku selalu merasa ada yang kulupakan, entah apa, tetapi terasa mengganjal di ujung benakku, 'Ingatkah kau? Namaku yang hendak kau tulis dalam draftmu tempo hari' Tapi siapa yang telah berujar itu? Sekelebat aku merasa pernah dengan sangat hanya menulis nama itu, di semua draft yang terhapus tanpa sengaja.



Aku ternyata begitu kehilangan kata kata yang terlupa, terlalu asik mencari titik koma, menerapkan makna di setiap sayap kata, menjejalkannya pada kamus buatanku sendiri, kertas buram tulisan cakar ayam, juga ejaan itu, ejaan untuk mendefinisikan kau. 'Mari kembali pada puisi, sayangku. Puisi kita hendak kita arsir warna apa?' Yah, sebuah detil yang sering terlupakan.



Sudah kukira, akhirnya aku benar benar lupa. Puisi kita terkunci. Kata katanya terkurung walau sekuat tenaga aku memancingnya keluar. Ucapan, makna, metafora itu, biarkan saja mencari persembunyiannya di kertas kertas buram itu ya. Ah, besok saja kita bakar, dan kita tulis tanggal kemusnahannya.



pati, 19 januari 2011

Rabu, 19 Januari 2011

sebuah sketsa

hujan jatuh begitu lurus di luar
malam menyusun pekat tak berbias

'aku harus belajar membuat sketsa
tentang kau, aku, dan cerita yang terbaca'

dingin menyusup sela pintu
menerpa lilin menyudutkan bayangan sedemikian

: kitapun berpayah mencari kata yang tak membualkan
dongeng penuh mimpi di kegelisahan yang menjadi dan
senyap yang nyenyak

apakah kita tepikan saja cerita itu di halaman ini?

(
(kau, sketsa yang senantiasa kubuat walau tanpa cerita)

pati, 17 januari 2011

bermuaralah

'halimun itu hanyalah
tenunan selubung pagi
tisikan selimut malam'

bermuaralah, kekasihku
pada delta yang kaupilih
bersedimen waktu yang terkikis
biarkan mengeras dan mambatu

'gelombang itu hanyalah riak
sapaan lirih yang berulang
percakapan yang tak pernah habis'

bermuaralah, kekasihku
menuju hilir yang menuai senja
walau lebam warnanya tak kau mengerti
setidaknya matahari terbenam di sana
saatnya kau sunting bintang dan rembulanmu

bermuaralah , kekasihku
tidakkah harapan itu tenda di kaki langit?

pati, 16 januari 2011

identik

Setiap kubuka pagar depan rumah, setiap itu pula segalanya terlihat identik. Hari ini yang serupa kemarin. Yang beringsut lambat. Hujan yang tak kunjung habis, 'ah, hari apakah ini?'

Orang orang yang sama menyapaku. Jalanan yang sama kulalui. Lihat, akupun sama bukan?

Pernah dalam mimpiku, aku berada di pekarangan yang beda, membuka pagar yang beda, dan bertemu orang orang yang beda. Tak kukenal. Dan kau, ada di mimpiku, berbaur dengan mereka. Asing.

Ternyata aku akan tetap rindu, semua ini, sama.

pati, 15 januari 2011

sebut saja bonsai, bukan kerdil

Awas. Seseorang memasang rambu yang suaranya terkalahkan suara siang. Lalu tanpa peringatan lubang yang menelan menutup celah bahkan untuk menoleh. Keterbenaman mengais udara kosong. Ada yang salah pada partikel yang terlanjur beterbangan di udara terkondensasi menjadi kabut pekat yang enggan membuka hari serta awan yang membuat pagi siang dan malam tak berjeda. Apalagi batas. Ada yang salah pada sisi lain yang kosong, bagai duri yang bermunculan di semak belukar ganti perdu orange bougenville dan pergolamu. Ada yang salah pada kata kata yang berjejalan di sepanjang jalan percakapan. Titik. Itu yang senantiasa kita lupakan untuk sekedar berhenti membiarkan setiap kata itu menampilkan dirinya, bukan prasangka atau bintik kuning yang membutakan. Dan kita belajar dari awal. Titik, hanya sebuah titik, untuk diam, dan berhenti.

pati, 14 januari 2011

sunglasses

kilau
memukau sukma yang
surut
membelah hati menjadi
kepingan nan
kehilangan arah
merimba bak
dunia berjaring rumit

kesejatian
menemaram di sudut

pati, 14 januari 2011

pesisir

seraut wajah tak berpenghuni
bintang mengerut di matanya
menyusuri potongan hari kemarin
tentang kenangan yang mati

(kita sibuk mengibas pasir
mengejar debur
yang pecah dikesumbingan
pantai sunyi : pernahkah kita miliki?)

pati, 14 januari 2011

kaluron

cabikan layang layang berkibar
diujung reranting nyaris patah
pada hari janggal di hati gamang
: separah itukah kerapuhan mengoyakmu?

pati, 13 januari 2011

maaf, aku hanya punya bahuku

tepat di malam itu
kau kelupas wajah
yang kau kenakan
di bulan bulan hujan
di siang kerontang
yang pernah
bagai pelabuhan setia
di tepian rindu

dan cahaya yang tiba
di pagi yang memilih
tak menjadi dewasa
gigil datang mengoyak
bagai debur yang perlahan
mengikis menghancurkan
tiang tiang dermaga
satu satu patah
dalam lengkingan derak pedih

: kau bukan lelaki
yang menghalau hujan tempo hari
dan aku tak kuasa
membendung tangis itu
di jeritan kekasihmu

pati, 13 januari 2011

jangan percaya pada spion yang membuat sesuatu tampak lebih dekat

lalu serentak kita berkaca

mengukur jarak yang tertinggal

dan waktu yang berderap maju

membuat kita tak mampu membedakan

fatamorgana

atau topeng yang luput ditanggalkan



(ataukah kita berkaca pada kaca yang salah

mengaburkan jarak dan refleksi?)



pati, 12 januari 2011

boru

camkan ini
betapa tak bisa kau lepaskan dirimu
dari tali yang mengikat kakimu
wahai keturunan yang terusir dari eden

siapapun menapak jalannya
jauh setelah masa penyapihan
hitam putih
gelap terang
bahkan kelabu adalah anak tangga

jauh di belakang
kerabatmu membayang
sebagai rumah yang jauh
atau arahmu pulang
selagi kau memilih untuk tak hilang

selagi matamu awas
hati hatilah pada semak belukar
yang memilih menutup jalanmu
bukan karena siapa siapa
itu bagianmu
mereka memiliki sendiri bagian mereka

karenanya, jangan sia siakan jalanmu
hari menua di luar dirimu
di dalammu biarlah :
'tunas baru senantiasa tumbuh
rumah bagi pagi dan senjamu'

pati, 12 januari 2011

apa yang kau muat di sampan itu?

sampan kecil
terombang ambing
berputar putar tak berarah
gelombang menderanya
menderukan pesan samudra
:hatimu yang bergelora
(begitukah benakmu?)

pati, 11 januari 2011

ini tentang imbas residu sayangku

endapkan dedak jamumu
hingga sehat itu juga sampai di ginjalmu
hanya, perlukah kau endapkan kata kataku
biar saja puisi itu membatu di hatimu
untuk kali ini, kau selamatkan irama nadimu bukan?

pati, 11 januari 2011

ia yang mentertawakan hujan

sekuncup bunga
layu dengan kelopak koyak
tersambit sebutir kerikil

seseorang terbahak bahak
dalam rinai hujan
yang menggelitik perutnya
'telah kusapa awan
dengan sebutir kerikil
ketika ia lupa'

pati, 10 januari 2011

ah, mimpi

ketika tetesan pertama hujan januari
berkelotak di atas genting
seorang anak terbangun dari tidurnya
'ah, keringlah cobek ibuku
hujan mencuri merah dan membalurnya di mata emak'

ketika tetesan ke dua hujan januari
berkelotak di atas genting
seorang anak terbangun dari mimpinya
'ah, keringlah periuk bapakku
hujan mencuri bulir dan menghujamkannya di kening bapakku
yang berjatuhan menjadi hujan di seluruh rumah'

ketika tetesan ketiga hujan januari
berkelotak di atas genting
seorang anak terbangun dari tidurnya

tertegun karena mimpinya
: emak dan bapaknya memanen tetesan tetesan yang berkelotak di atas genting ke dalam cobek dan periuk lalu memarnainya dengan merah yang berbulir bulir

pati, 8 januari 2011

mari minum teh

dimanakah kata kata yang kita tabur? anginkah yang telah meratakannya di wajah pagi dan memolesnya dengan gincu, ataukah peluh yang telah menyekanya dari wajah siang, membuatnya carut marut, tak bisa dimengerti, atau malam yang memudarkannya hingga riasan kata itu begitu berantakan?
entahlah, sama sepertimu, betapa berserakannya kata kata yang menimbun kau dan aku

pati, 8 januari 2011

sesaat ketika waktu begitu kental

angin mencondongkan batang pohon jambu
bak confetti daun daun luruh berderai
ringan melayang tak berbeban
kepatuhan tak bersyarat
hanya kerinduan
diam
pada pertemuan yang abadi
ketika hilang dan terhilang

pati, 7 januari 2011

my old 2010

bak kijang lesat di padang rumput
atau serupa siput kelebihan beban
hari berlalu tak pernah kembali

p.siantar 31 desember 2010

ketika harus kusimpan mimpi hingga perjumpaan kembali

kilat dan petir sesekali membelah langit
di ufuk kembang api gempita gemerlap
ah, betapa tipisnya batas perih dan sukacita itu

p.siantar 30 desember 2010

seseorang yang melintas depan rumah

tiada hujan, tidaklah terik
sebuah payung terbuka
seseorang menutup diri

p.siantar, 29 desember 2010

laba laba

ada yang bermain dengan bayang, rakus gembira berlarian di urat nadi, runyam, hitam menyarang laba laba, lalu berilusi tanpa batas ketika waktu dibekukan jauh di dasar kesadaran, suatu kali sang bayang menyerupa ngarai dalam membelah wajah, kali lain menjelma sumur tak berdasar menyedot kedua matanya, lubang hitam, yang perlahan mati, hari ini sepertinya bayang bayang itu memanjang, berkilat menjadi sebilah pisau yang mencabik cabik lembar demi lembar hari yang dilukisnya dengan susah payah, perlahan begitu perlahan tak bisa kubedakan ia dan bayang

p. siantar, 29 desember 2010

sebuah cerita (3)

kau, yang selalu menyendengkan telinga
pada debar sinar yang malu malu

kau, yang senantiasa mengajakku berjalan
di cuaca yang tak tertebak bunga sekalipun

kau, yang setia membelai degupku
sudahkah kita bangun taman rembulan?

maka aku tak akan bertanya siapa
yang mengetuk pintuku sesaat sebelum kuterjaga
aku tahu itu kau

jakarta, 23 desember 2010

ojeg sepeda (1)

di jalan yang tak mengenal sunyi
kau berdiri menatapku
: ribuan puisi sunyi berpendar di matamu
dan debu, dan asap, dan riuh jatuh satu satu di senyummu
'mari nona, belantara siap menyambutmu'

jakarta, 23 desember 2010

sebuah cerita (2)

'ya nak, aku tak tahu bagaimana nasi yang kau telan menemukan cahaya hingga tahu jalan untuk sampai di perutmu'

yang aku tahu sayangku, kita tak boleh terlena oleh cahaya pagi yang hanya datang sesaat, karena ketika siang cahaya itu bersekutu dengan bayang yang menunjuk arah gelap datang
karena itu sayang, makanlah nasimu, biarkan dia menemukan cahayanya sendiri, kita akan tahu dia baik baik saja, karena cahaya itu ditinggalkannya di matamu

bandung, 22 desember 2010

sebuah cerita

didepan etalase
yang berkilau laksana bintang
seorang ibu menuntun anaknya
dilihatnya panorama santa klaus dan rusanya
dibayangkannya kereta santa klaus
membawa mereka terbang hinggap di puncak cemara
disana tergantung mainan kereta dan lonceng
yang ditangisi anaknya

didalam toko orang lalu lalang
tertawa melihat pemandangan
seorang ibu lusuh menuntun anaknya
menempelkan mukanya di etalase

bandung, 22 desember 2010

ironi (1)

petikkan aku buah rindu
setakaran saja
entahlah, sepertinya aku tak yakin
aku lupa memupuknya

bandung, 21 desember 2010

suatu hari menjelang natal

cahaya lampu pohon natal
memantul berkilau di sepanjang etalase
jatuh berderai di gelap trotoar
anak anak sibuk memungutnya ganti kunang kunang yang lupa musim hujan

bandung, 21 desember 2010

nyanyian kekasih

tolong simpankan jejakku
di kelok sunyimu yang bersahaja
panggilah namaku laksana kekasih
serupa wulung di tepian situ bentangmu
menyerukan nama kekasihnya, angin

banjar, 21 desember 2010

di jembatan kota

sekelompok daun kering menggelepar
pasrah menahan tamparan angin
ringkih , layu, gamang
mengapa mengingatkanku padamu Nuk?

jogja, 19 desember 2010

nyanyian pulang

aku kembali gagal mengartikan kata pulang, maka aku meneruskan perjalanan pada kota yang setia memberiku cerita, cerita yang kuturunkan pada telinga yang hendak mendengar, barangkali kelak ketika aku harus berhenti, ada cerita tentang pulang sesaat ketika jalanku pergi berakhir

ada sesuatu yang akan selalu terdengar sama, jalan yang senantiasa terajah kelokan dan persimpangan, hujan yang menggenang entah tercurah atau tidak, dan kau yang kucari pada arahku, pulang

jogja, 19 desember 2010

hujan lupa menandai

ya, sepertinya hujan lupa menandai tempatnya jatuh

lalu kita

entah atas perintah siapa

sibuk menggantinya dengan air mata

sedang awan tak pernah kita gembalakan bukan?



pati, 15 desember 2010

buatmu : kunanti

menanti, seperti tibatiba kau harus membuka pintu

lalu kau mencari anak kunci yang entah dimana

lalu kau mencoba satusatu deretan anak kunci

lalu tibatiba pintu memilih untuk sulit dibuka

gelisah, tersendat sendat

pertemuan, aku takut terasa sekejap

seperti pintu yang harus segera ditutup

dibelakangmu

dimuka angin yang menderu memaksa masuk

dan ketika matamu mengerjap

kau kembali, menanti



pati, 15 desember 2010

cerita buat nunuk

dia yang kau lihat di cermin
pagi ini
mengaramkan waktu di benaknya
angin bergelora di mata
badai menetap di wajahnya
lalu petir sambar menyambar pecah di kedua bibirnya
kau kenalikah dia?
ya satu satu lampu padam di jiwanya
(nuk, lepaskan tambatan sekocimu
mercusuar takkan menghempasmu pada karang)

pati, 14 desember 2010

mengertikah komiu?

malam kadang terasa begitu panjang

udara pecah, dingin

biar saja tak usah kau lipat

jangan katakan padaku tentang malammu

biar esok tak tersesat

di mata kita yang mengembun



pati, 14 desember 2010

kenalilah tanah ibumu, anakku

: jogja, tanah ibu kedua anakku



dan mereka selalu saja menoreh luka

diatas luka

barangkali mereka lupa warna darah

atau nanah

ataukah telah sedemikian silang menyilang

di kapiler mata dan otak mereka?

ugh, betapa kelabunya sel sel kelabu

ketika residu matahari yang hampir padam

menjadi dupa racun yang membutakan

membatu

degil

(maka biarkan tanah ibumu

yang melindungi akarmu, anakku)



pati, 13 desember 2010

pojok

ruangan berpojok empat
pada suatu kali aku pernah duduk di satu pojoknya
takzim membisikan sajakku
dan kau menulisnya di telapak tanganmu
'ini buatku'
di pojoknya yang lain
kugantung foto tentangmu
matahari yang baru menampakkan diri
pagar sunyi
rinai cahaya
di pojok dulu tempatku duduk
kugenggam tanganmu
yang takzim berbisik
'maafkan aku, aku lupa sajakmu'
pojok yang lain kubiarkan berdebu
disana kukubur mimpiku
(satu pojok kubiarkan apa adanya, buatmu menulis sajak, untukku)

pati, 13 desember 2010

pohon jambu kita sudah tua, paitua

pohon jambu kita memang sudah tua, kau dengarkah desahnya kemarin? kuceritakan tentang laut kepadanya, tentang muara yang selalu menuju laut,tentang camar.
ah pohon jambu kita memang sudah tua, apa yang dipikirnya tentang ceritaku? sedang ia senantiasa setia merontokan daunnya pada kolam kecil pekarangan kita
(kubilang kepadanya,jika laut, akan selalu membawa daun itu kembali)

pati, 12 desember 2010

kriiiiiing!!!! bisa tolong matikan bekernya?

yang menggangu adalah waktu yang kita akali

ternyata mengakali kita, dan sejak kapan kita

memiliki?

yang melegakan adalah tak ada speedometer sayangku,

tidak di detik, tidak di tahun, hanya beker yang menjerit jerit

"tidur, waktumu habis!"



pati, 11 desember 2010

pernahkah?

entahlah, aku selalu merasa kata katamu melata mencari timur tempat matahari tenggelam, bahkan sepertinya kaupun tak tahu jika kakimu di selatan, jadi hendak sampai kapan pencaharianmu itu? apa yang terbersit dari kata katamu sebenarnya, entahlah apakah kaupun bertanya tanya? 'aku tak berahim tak bermuara, hanya pengelana yang berlayar di keduanya'
apakah pernah kau bertanya tanya apa yang terbersit dari tanyaku?
(kau tahu, bagiku timur tempat matahari terbit)

pati, 10 desember 2010