Seorang lelaki tua duduk mencangkung di perahu kayunya yang kecil. Lamat lamat
terdengar suaranya lirih mengalun jauh...
"Kakek, apakah perahu kita hendak menuju rumah matahari?"
"He..he..he.., entahlah cucuku, sejujurnya, aku tidak tahu dimana rumah matahari.
Namun ya, perahu kita menuju matahari tenggelam", mata tuanya bersinar teduh
dan bangga memandang cucunya, cucu laki laki satu satunya, bocah yang tak bisa
diam, dengan segudang pertanyaan dan rasa ingin tahu sebesar gunung.
Kemudian didengarnya keluhan lirih istrinya dalam nada mesra yang begitu ia
kenal, "Ah Stranger, kau dan lautmu, kadang aku berpikir kau ini menikahi siapa,
aku atau laut itu?"
"Oh bunda, haha, jelaslah ayah menikahimu, karena bukan lautan itu yang
melahirkan aku" sahut anak perempuannya, yang seperti kata orang orang, dan
harus diakuinya, benar benar mirip dirinya, dengan ketangguhan , keras hati, dan jiwa
hangat. Dimanapun putrinya ada, sepertinya dia membawa mentari bersamanya.
Hanya satu ciri sang istri yang dimiliki putrinya, kecil mungil dan dekik di pipi kiri.
Dipandangnya wanita yang telah mencuri hati nya bertahun tahun lalu, dan telah
memberinya mentari. Sungguh tahun tahun bahagia yang mengalir bagai sungai.
Dalam benak lelaki tua itu, berlarian kelebatan kenangan hari ketika dia dan sang istri
menanam sebatang pohon jambu di depan rumah mungil mereka, kebahagiaan istrinya
ketika bunga pertama muncul bersamaan dengan berita kepastian kehamilannya,
celoteh purtri mungilnya belajar jalan disekeliling batang kokoh sang pohon, pesta
kebun pernikahan sederhana sang putri dengan meja meja perjamua bertaplak putih
di bawah keteduhan sang pohon, dan sebuah hari kelabu berangin ketika satu satu
tubuh orang yang dikasihinya itu, tubuh sang cucu, tubuh putri mentarinya, dan tubuh
sang istri yang mencuri hatinya bertahun tahun lalu, dimakamkan bersisian didekat
sang pohon.
Suara lirih pak tua makin terdengar sayup sayup sejalan dengan hanyutnya perahu
kayu kecil itu menjauhi tepi, menuju matahari tenggelam. Ditangan pak tua,
tergenggam sepucuk daun jambu menguning yang telah diajaknya bercakap cakap
sebagai cucu, putri dan istrinya.
Daun jambu terakhir yang luruh sesaat sebelum pohon itu mati terserang hama,
kamarin.
pati, 1 september 2010
Rabu, 08 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar