harmony

harmony

Rabu, 08 September 2010

luruh

Seorang lelaki tua duduk mencangkung di perahu kayunya yang kecil. Lamat lamat

terdengar suaranya lirih mengalun jauh...

"Kakek, apakah perahu kita hendak menuju rumah matahari?"

"He..he..he.., entahlah cucuku, sejujurnya, aku tidak tahu dimana rumah matahari.

Namun ya, perahu kita menuju matahari tenggelam", mata tuanya bersinar teduh

dan bangga memandang cucunya, cucu laki laki satu satunya, bocah yang tak bisa

diam, dengan segudang pertanyaan dan rasa ingin tahu sebesar gunung.

Kemudian didengarnya keluhan lirih istrinya dalam nada mesra yang begitu ia

kenal, "Ah Stranger, kau dan lautmu, kadang aku berpikir kau ini menikahi siapa,

aku atau laut itu?"

"Oh bunda, haha, jelaslah ayah menikahimu, karena bukan lautan itu yang

melahirkan aku" sahut anak perempuannya, yang seperti kata orang orang, dan

harus diakuinya, benar benar mirip dirinya, dengan ketangguhan , keras hati, dan jiwa

hangat. Dimanapun putrinya ada, sepertinya dia membawa mentari bersamanya.

Hanya satu ciri sang istri yang dimiliki putrinya, kecil mungil dan dekik di pipi kiri.

Dipandangnya wanita yang telah mencuri hati nya bertahun tahun lalu, dan telah

memberinya mentari. Sungguh tahun tahun bahagia yang mengalir bagai sungai.

Dalam benak lelaki tua itu, berlarian kelebatan kenangan hari ketika dia dan sang istri

menanam sebatang pohon jambu di depan rumah mungil mereka, kebahagiaan istrinya

ketika bunga pertama muncul bersamaan dengan berita kepastian kehamilannya,

celoteh purtri mungilnya belajar jalan disekeliling batang kokoh sang pohon, pesta

kebun pernikahan sederhana sang putri dengan meja meja perjamua bertaplak putih

di bawah keteduhan sang pohon, dan sebuah hari kelabu berangin ketika satu satu

tubuh orang yang dikasihinya itu, tubuh sang cucu, tubuh putri mentarinya, dan tubuh

sang istri yang mencuri hatinya bertahun tahun lalu, dimakamkan bersisian didekat

sang pohon.

Suara lirih pak tua makin terdengar sayup sayup sejalan dengan hanyutnya perahu

kayu kecil itu menjauhi tepi, menuju matahari tenggelam. Ditangan pak tua,

tergenggam sepucuk daun jambu menguning yang telah diajaknya bercakap cakap

sebagai cucu, putri dan istrinya.

Daun jambu terakhir yang luruh sesaat sebelum pohon itu mati terserang hama,

kamarin.



pati, 1 september 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar